Oleh: Muhammad Anugrah

(Peserta Beasiswa S2 GPAI Calon Pengawas Direktorat PAI Ditjen Pendidikan Islam Tahun 2019,

Mahasiswa" />

Tantangan Pengawas Pendidikan Agama di Sekolah

Illustrasi Foto (Direktorat PAI Kemenag)

Oleh: Muhammad Anugrah

(Peserta Beasiswa S2 GPAI Calon Pengawas Direktorat PAI Ditjen Pendidikan Islam Tahun 2019,

Mahasiswa S2 Manajemen Pendidikan Islam PPs UIN Sunan Gunung Djati Bandung)

 

Pengawas pendidikan adalah orang yang diberikan kewenangan untuk memeriksa dan memastikan rencana dijalankan sebagaimana mestinya, kemudian menjamin pekerjaan dilaksanakan sesuai ketentuan yang telah ditetapkan sesuai dengan standar. Dalam PMA RI No. 2 Tahun 2012 tentang Pengawas Madrasah dan Pengawas Pendidikan Islam disebutkan bahwa pengawas PAI pada Sekolah adalah guru Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dalam Jabatan Fungsional Pengawas Pendidikan Agama Islam yang tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya adalah melakukan pengawasan penyelenggaraan pelaksanaan Pendidikan Agama Islam pada sekolah.

Di samping itu,  dalam Permendikbud RI No. 143 Tahun 2014 tentang Petunjuk teknis Pelaksanaan Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah dan Angka Kreditnya dinyatakan bahwa Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah adalah jabatan fungsional yang mempunyai ruang lingkup tugas, tanggung jawab dan wewenang untuk melaksanakan kegiatan pengawasan akademik dan manajerial pada satuan pendidikan.

Melihat pengertian di atas, terlihat tanggung jawab pengawas PAI pada sekolah adalah melaksanakan tugas pengawasan akademik dan manajerial pada satuan pendidikan. Tugas tersebut meliputi penyusunan program pengawasan, pelaksanaan pembinaan, pemantauan pelaksanaan Standar Nasional Pendidikan, penilaian, pembimbingan dan pelatihan profesional Guru, evaluasi hasil pelaksanaan program pengawasan, dan pelaksanaan tugas pengawasan didaerah khusus.  

Pengawasan akademik merupakan serangkaian kegiatan membantu guru mengembangkan kemampuannya mengelola proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran. Hal ini berarti pengawasan akademik berkaitan dengan kompetensi guru dalam mengembangan pedagogis, profesional, kepribadian, dan sosialnya yang berkaitan dengan pembelajaran secara langsung. Sementara itu, pengawasan manajerial berkaitan dengan kemampuannya dalam rangka membantu kepala sekolah, guru, dan tenaga kependidikan lainnya guna meningkatkan mutu dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran

Beberapa tantangan yang dihadapi dalam peningkatan mutu ini diantaranya adalah peningkatan kompetensi guru PAI, kualitas pembelajaran PAI, dan integrasi pendidikan karakter pada siswa di satuan pendidikan. Kompetensi guru Pendidikan Agama Islam menghadapi tantangan yang tidak mudah, misalnya perbedaan status guru PAI di sekolah yang belum berimbang (perbedaan kesejahteraan yang terlalu tajam antara guru PNS dan honorer), ketidakadilan pemberian tunjangan bagi guru PAI yang sudah bersertifikat pendidikan dengan yang belum bersertifikat pendidikan, dan kuota terbatas bagi guru PAI dalam pelaksanaan PPG (Pendidikan Profesi Guru). 

Profesi guru PAI juga masih terbuka, dalam pengertian banyak sarjana non-pendidikan keislaman yang menjadi guru PAI. Hal ini berbeda dengan profesi lainnya yang berlaku ketat dan terbatas. Kondisi ini menyebabkan nilai tawar profesi guru PAI dan kualitasnya menjadi menurun, sekaligus menambah kompetisi diantara guru-guru PAI.

Hal lain yang menjadi akar masalah rendahnya kompetensi guru PAI adalah kemudahan pendirian lembaga pendidikan tinggi keagamaan Islam dalam melahirkan guru-guru PAI.  Saat ini banyak berdiri lembaga Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) yang melahirkan jutaan sarjana Pendidikan Agama Islam dengan tidak dibarengi kualitas yang memuaskan, bahkan diantaranya belum memiliki sertifikat akreditasi program studi. Kondisi demikian dengan sendirinya membawa permasalahan penurunan kualitas pendidik. 

Tantangan langsung yang dihadapi pengawas dalam kompetensi guru diantaranya adalah kompetensi guru bersertifikat yang masih belum memuaskan. Guru bersertifikat pendidik inilah yang seharusnya menjadi guru panutan dan model kualitas pendidikan pada satuan pendidikan. Idealnya, guru bersertifikat pendidik menjadi guru dengan tunjangan untuk profesionalitasnya yang  dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuannya.

Guru yang sudah mendapat tunjangan profesi akan meningkatkan kompetensi substansi yang dimilikinya, karena tunjangan yang didapat sebagian akan disisihkan untuk membeli buku untuk sumber belajar, mendesain media pembelajaran mengikuti seminar tentang pendidikan, membeli perangkat komputer atau laptop, dan aktifitas lain yang terkait dan diperbolehkan aturan.

Akan tetapi, nyatanya tunjangan sertifikasi tidak menunjukan dampak signifikan terhadap peningkatan mutu pendidikan. Berbagai penelitian terkait menunjukkan bahwa guru yang telah mengikuti sertifikasi, dengan agregat 50 % dari 3670 peserta, tidak mengalami peningkatan kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, maupun kompetensi sosialnya. Hal ini mengakibatkan rasa ketidakadilan guru honorer dan guru belum bersertifikat pendidik yang berdampak terhadap penurunan kinerja di satuan pendidikan.

Rendahnya minat guru PAI untuk meningkatkan kompetensinya adalah dampak dari pola reward dan punishment yang belum berjalan sempurna, pola karir terbatas yang menurunkan  motivasi guru PAI meningkatkan kompetensi diri, dan pengawasan yang tidak tepat sasaran. Seharusnya pengawas PAI di sekolah memiliki kemampuan dan perangkat yang dapat mendorong peningkatan kompetensi guru PAI.

Beberapa hal penting dapat dilakukan pengawas dalam menjalankan tugasnya. Pengawas dapat melakukan tugas pengawasan yang berkeadilan bagi para guru. Dalam konteks ini Pengawas dapat melakukan pemetaan terhadap guru. Langkah ini ditempuh dengan membuat pemetaan guru kedalam 4 jenis guru, yaitu guru PNS bersertifikat pendidik, guru PNS belum bersertifikat pendidik, guru honorer bersertifikat pendidik, dan guru honorer belum bersertifikat pendidik.

Setelah didapatkan pemetaan, maka pola supervisi akademik dan manajerial diberikan secara berimbang dengan melihat hak dan tanggung jawab, hak yang lebih tinggi harusnya dibarengi dengan tanggung jawab yang lebih tinggi. Pola reward dan punishment juga harus diterapkan dengan mengacu pola pemetaan yang telah dibuat. Diharapkan, hal ini akan meningkatkan motivasi dan minat guru untuk meningkatkan kompetensinya.

Sementara itu, hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan kualitas pembelajaran diantaranya adalah pola pelatihan guru PAI terlalu fokus dengan perencanaan pembelajaran. Pembinaan sering dilakukan oleh pengawas PAI di satuan pendidikan berupa pembinan akademik yang hanya mengacu kepada pembuatan silabus dan  RPP, tetapi inti pembelajaran sama sekali tidak terpengaruh. Pada praktiknya, guru membuat RPP yang bagus secara teknis, tetapi jarang dilaksanakan di ruang kelas.

Selain itu, guru terlihat masih minim pengetahuan terkait pedagogis. Akibatnya,  mutu pembelajaran tidak meningkat, pengawaspun seringkali hanya fokus di administrasi guru dan tidak menyentuh kualitas pelaksanaan pembelajaran di ruang kelas.

Guru PAI juga mengalami kesulitan dalam melaksanakan penilaian. Guru masih belum bisa membedakan antara penilaian sikap, pengetahun, dan keterampilan. Karena pengaruh kurikulum sebelum 2013 yang terlalu fokus pada pengetahuan, kemampuan guru dalam penilaian sikap dan keterampilan tidak terasah. Seringkali penilaian sikap dan keterampilan yang dilakukan guru PAI hanya penilaian semu yang tidak autentik, palsu, dan subyektif guru saja.

Lebih dari itu, integrasi pendidikan karakter juga terhambat karena beberapa lingkungan yang tidak mendukung, misalnya tontonan televisi yang terlalu kuat pada hiburan, tetapi lemah nilai pendidikannya. Faktor lainnya adalah akses internet yang sangat masif tanpa pengawasan keluarga dan kurang sinergisnya hubungan tri pusat pendidikan (sekolah, keluarga, dan masyarakat).

Kualitas pembelajaran dapat ditingkatkan apabila pengawas tidak memfokuskan supervisi kepada perencanaan dan penilaian saja. Pada kenyataannya, pelaksaan pembelajaran malah sering diabaikan. Pengawas diharapkan meningkatkan kemampuan paedagogisnya untuk dapat ditularkan kepada guru-guru PAI di lapangan. Pengawas dapat menekankan pada guru untuk bersikap lebih kreatif dan keluar dari zona nyaman mengajarnya dan mulai menggunakan model pembelajaran kerjasama (cooperatif learning), berbasis masalah, dan berbasis projek.

Selain itu, guru dituntut untuk mampu memahami pendekatan berbasis peserta didik (student centered learning). Di lapangan masih ditemukan para guru PAI menggunakan pola pendekatan pembelajaran berbasis guru (teacher centered learning). Guru masih berfokus pada pembelajaran berbasis ceramah, menghafal, dan mencatat. Pradigma inilah yang harusnya dirubah oleh pengawas PAI di satuan pendidikan.  

Pembelajaran yang diharapkan pada kurikulum 2013 adalah pembelajaran berbasis scientific learning yaitu pemecahan masalah melalui penalaran dan pengamatan yang mampu dibuktikan. Harapannya, siswa lebih aktif di dalam kelas. Di samping itu,  penilaian juga harus penilaian otentik berupa pengukuran yang bermakna secara signifikan atas hasil belajar peserta didik untuk sikap, pengetahuan, dan keterampilan.

Untuk mengatasi akar permasalah kompetensi guru PAI yang rendah diperlukan kerja sama yang baik antara pihak pembuat dan pelaksana kebijakan, dalam hal ini Kementerian Agama, Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI), dan organisasi profesi guru. Peran pengawas dalam hal ini bisa masuk dalam dalam sisi pengawasan di satuan pendidikan, berupa pembinaan, penilaian, dan pelatihan untuk memperkuat kompetensi yang diharapkan. Pengawas diharapkan tidak apatis menghadapi akar permasalahan yang berkaitan dengan komptensi guru, walaupun perannnya terbatas pada sisi teknis di lapangan pada satuan pendidikan. 



Terkait