Oleh
Aat Jumiat, S.Ag, M.Pd
(Ketua MGMP PAI SMP Provinsi Banten)
Sebagai bagian dari Sistem Pendidikan Nasional, PAI dikembangkan agar memberi kemampuan pada siswa tentang konsepsi PAI dan bagaimana menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan Agama Islam (PAI) mempunyai tanggung jawab besar untuk ikut merealisasikan tujuan Pendidikan Nasional. Namun demikian, di tengah berbagai tantangan dan harapan, tanggung jawab ini memiliki jalan berliku untuk dilalui.
Nilai pembelajaran PAI sangatlah luhur. Dalam Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Beragam nilai dan posisi strategis yang ingin dicapai sebagai hasil akhir pelaksanaan PAI tersebut niscaya membutuhkan kerja dan proses yang tidak ringan untuk mencapainya. Jalan terjal berupa berbagai tantangan yang menyertai juga dapat dipastikan ada.
Dalam rangkaian pelaksanaan proses pembelajaran, pengkondisian lingkungan belajar perlu dijalankan. Dalam kaitan ini, peran guru sangat penting. Thomas Curtis dan Wilma Bildwell sebagaimana dikutip Hamalik (2008) menyatakan bahwa peran guru adalah selaku pengorganisasi lingkungan belajar dan fasilitatornya.
Selaku pengorganisasi dan fasilitator lingkungan belajar, guru pada dasarnya adalah seorang perencana atas segala tindakannya dalam ruang kelas. Dalam posisi demikian, guru berkewajiban untuk memastikan apa yang dirancang dan direncanakannya relevan dengan kebutuhan dan perkembangan siswa. Untuk itu, perencanaan yang dilakukan guru mau tidak mau harus terhubung dengan kondisi masyarakat, kecenderungan pemahaman dan belajar siswa, dan berbagai hal terkait.
Dengan tugas seperti ini, otomatis guru PAI menghadapi berbagai tantangan yang tidak mudah dalam upaya peningkatan mutu pendidikan PAI. Upaya untuk membentuk karakter PAI berhadapan langsung dengan perkembangan internet dan digital yang demikian luas berpengaruh.
Penulis berpendapat bahwa setidaknya ada tiga hal mendasar yang menjadi tantangan pembelajaran PAI saat ini. Pertama, motivasi belajar PAI pada siswa relatif rendah. PAI masih dianggap sebagai pelajaran “kedua”. Pelajaran “pertama” adalah pelajaran umum yang diujikan secara nasional. Ukuran kebanggan secara personal, kelembagaan, dan kebijakan nasional cenderung berupa nilai dan capaian tentang mata pelajaran umum. Capaian nilai PAI masih diposisikan sebagai setelahnya.
Hal ini lebih disebabkan peserta didik, terutama siswa kelas IX, cenderung memilih mata pelajaran yang di-UN-kan seperti Matematika, IPA, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia. Untuk menunjang itu, sekolah bahkan memberikan fasilitas pelajaran tambahan atau bimbel di sore hari, melengkapi buku-bukunya, dan memberikan fasilitas lebih.
Sementara itu, mapel lainnya termasuk PAI relatif terkesan hanya didapat siswa di dalam kelas formal dalam jam belajar yang tercantum didalam jadwal KBM. Pendek kata, sekolah cenderung membuat kebijakan yang lebih memprioritaskan mata pelajaran selain PAI. Posisi inferior ini berpengaruh terhadap respon siswa untuk belajar lebih dalam tentang PAI.
Kedua, dukungan lingkungan dan pemangku sekolah belum optimal. Keberhasilan kegiatan belajar mengajar juga sangat tergantung kepada lingkungan keluarga peserta didik. Lingkungan keluarga berpengaruh besar terhadap proses belajar yang dijalani siswa. Dukungan keluarga terhadap siswa dalam menjalani proses proses belajar mengajar sangat dibutuhkan dalam upaya mencapai hasil pembelajaran yang maksimal.
Masih banyak ditemui sikap orang tua yang seperti menyerahkan anaknya kepada sekolah untu mendidik dan membimbung anak sepenuhnya. Sementara itu, orang tuanya sedang sibuk lainnya karena berbagai faktor yang melatari seperti ekonomi dan kesibukan lainnya. Akibatnya, tidak terdapat dukungan yang memadai antara orang tua kepada sekolah dan anaknya karena tidak tersedia waktu dan komunikasi yang memadai diantara mereka.
Ketiga, keteladanan dan profesionalisme guru PAI yang kurang. Keteladanan merupakan kunci utama dalam menanamkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan terhadap Allah SWT. Dengan menampilkan berbagai bentuk aplikasi dari keimanan dan ketakwaan, orang yang melihatnya akan langsung mampu meniru perbuatan baik tersebut tanpa sulit memahaminya. Keteladanan merupakan salah satu metode dalam menanamkan nilai-nilai agama yang paling efektif.
Menyampaikan materi pendidikan agama islam seharusnya lebih banyak melalui peneladanan, sehingga nilai-nilai kebenaran itu tidak hanya eksis pada tataran kognitif saja, tetapi benar-benar terwujud dalam kehidupan sehari-hari. Lebih jauh, profesionalisme guru PAI dibutuhkan untuk memastikan semua proses pembelajaran dan peneladanan berjalan dalam koridor semestinya. Saat ini, masih banyak ditemui profesionalisme yang lebih menitikberatkan apada aspek administratif, belum pada esensi tugas dan fungsi selaku guru PAI yang diemban.
Menghadapi berbagai tantangan guru PAI dalam upaya meningkatkan mutu pembelajaran PAI tersebut, penulis menawarkan beberapa pemikiran terkait. Dasar pemikiran ini berpijak pada berbagai praktik baik (best practices) yang dihadapi dan dialami dalam menjalankan proses pembelajaran PAI sehari-hari.
Terkait dengan rendahnya motivasi siswa dalam belajar PAI, penulis menilai pentingnya penguasaan konsep berbagai model pembelajaran terkini. Pendekatan ini ditempuh dengan menghadirkan berbagai model pembelajaran yang menarik dan menyenangkan, penggunaan alat peraga yang insipatif, metode pembelajaran yang menarik, dan upaya menanamkan pemahaman terhadap siswa.
Pendekatan aplikatif ini diharapkan menumbuhkan kesadaran menyeluruh dan siap pakai pada siswa. Pendekatan ini menekankan pemahaman bahwa dengan penguasaan ilmu agama dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, individu akan selamat dan bahagia dunia akhirat, sehingga peserta didik termotivasi dan tertarik untuk belajar agama islam. Pada dasarnya, apabila seseorang sudah cukup pemahaman dan pengamalan dalam ajaran agama, maka secara tidak langsung hidupnya akan teratur dan mawas diri.
Dalam hal rendahnya dukungan lingkungan dan orang tua, mau tidak mau perlu ditumbuhkan upaya bersama untuk membangun kolaborasi dan kerja bersama dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan agama Islam. PAI adalah kerja dan produk bersama, membangunnya tidak mungkin hanya dilakukan salah satu pihak saja.
Bagi orang tua, keterlibatan mereka dibutuhkan bukan hanya untuk memastikan kualitas pendidikan dan pembelajaran PAI anaknya yang bersekolah, tapi juga memonitor perkembangan anaknya secara rutin dan berkala. Dengan kontrol seperti ini, siswa akan merasa diperhatikan dan tumbuh tanggung jawabnya untuk berlaku serius dalam mempelajari dan disiplin manjalankan nilai-nilai PAI.
Sementara itu, dalam kaitan ketedanan dan profesionalime, perlu berbagai penyadaran dan penguatan bersama. Guru memang harus memberi teladan yang benar dan terarah. Namun demikian, peran orang tua dan keluarga juga sangat dibutuhkan. Orang tua adalah pihak yang paling tepat dalam upaya meneladankan berbagai kebiasaan dan kewajiban dasar, misalnya salat lima waktu, kesabaran, pemurah, menghormati tamu, pesan-pesan untuk menghormati guru di sekolah, cara bertetangga, dan lain-lain.
Proses pendidikan yang terjadi di sekolah dan masyarakat amat dipengaruhi oleh proses pendidikan yang terjadi dalam keluarga. Latar belakang sosial ekonomi dan budaya keluarga juga akan sangat berpengaruh terhadap hasil belajar siswa yang diperoleh di sekolah. Lebih dari itu keharmonisan hubungan antaranggota keluarga dan intensitas hubungan anak dengan ibu dan ayahnya akan sangat mempengaruhi sikap dan perilaku anak di sekolah dan masyarakat.
Keluarga memiliki peran penting dalam menunjang keberhasilan pembentukan kepribadian dan perilaku siswa. Langkah ini ditempuh dengan menciptakan lingkungan keluarga yang agamis, penerapan nilai-nilai agama sebagai landasan berfikir dalam bersikap dan bertindak. Di samping itu, dibutuhkan kesadaran untuk menjalankan nilai-nilai moral, aturan pergaulan, pandangan hidup, keterampilan, dan sikap yang mendukung kehidupan pribadi.
Lembaga pendidikan sekolah dan masyarakat tidak berfungsi menggantikan peran keluarga. Pelaksanaan fungsi sekolah dapat berjalan dengan baik jika keluarga mendukung sepenuhnya terhadap program sekolah. Dalam hal ini sekolah dapat mengembangkan berbagai program kegiatan kerja sama dengan orang tua siswa.