Guru yang Didamba

Illustrasi Foto (Direktorat PAI Kemenag)

Oleh: Emi Indra (Guru PAI SMPN 1 Palu)


Saat ini, keberadaan, peran, dan fungsi guru tengah menghadapi pertanyaan dan, dalam batas tertentu, bahkan tantangan serius. Bukan saja tetap menghadapi problem dan kendala profesionalisme, kompetensi, dan kesejahteraan, kini guru juga menghadapi "kemunduran" respek sosial karena meruyaknya peran dan pemasaran produk teknologi.

Keberadaan beragam layanan teknologi yang mewujud sebagai "guru" maya dalam berbagai rupa kemasan yang dibuat sedemikian menarik, pelan dianggap mampu menggerus makna dan peran vital guru selama ini. Jika guru pada bentuk fisiknya adalah mereka yang mendapat respek dengan dicium tangannya penuh hormat oleh para siswanya, misalnya, bisa jadi sekarang momen penuh khidmat dan menggetarkan itu tengah terganti "hormat" secara virtual.

Dengan begitu, apakah kehadiran guru mampu menjadi "laksana embun penyejuk dalam kehausan"? Masihkah keberadaan guru tetap didamba penuh harap? Kalaupun ada, seperti apa gerangan mereka?

Teknologi saat ini memang menyegala dan mewarnai keseharian siswa. Namun demikian, peran teknologi tidak akan mampu mengisi ruang emotif yang terjadi secara langsung antara guru dan siswa. Ruang emotif itu terbangun dari proses pedagogis yang berakar pada komunikasi person to person dan diperkuat dengan transmisi dan keteladanan dalam konteks pendidikan karakter dan budi pekerti.

Di balik itu, ada situasi tidak terbantahkan yang tidak didapat siswa lewat pembelajaran online. Guru maya tidak bisa memberikan cinta kasih kepada siswa. Sentuhan cinta, kebersamaan, canda-tawa hanya bisa didapatkan di ruang-ruang “kelas nyata” di mana guru berada di dalamnya.

Generasi millenial yang menjadi "anak kandung" teknologi informasi justru dalam banyak hal menemui apa yang lazim dikenal sebagai kondisi insecure dan rapuh karena gelontoran informasi dan godaan budaya asing yang tidak terkendali. Akibatnya, banyak anak-anak didik yang kehilangan arah untuk melihat masa depan dan memudarnya harapan hidup akibat berbagai konflik sosial dan keluarga.

Pada titik ini, banyak pihak yang masih menaruh harapan besar agar kehadiran dan sosok seorang guru benar-benar menjadi pelita dan penunjuk arah dalam kondisi yang ringkih dan mencemaskan tersebut.

Publik masih mengharapkan keberadaan guru yang bukan saja hadir sebagai seorang pengajar dan pendidik, namun, lebih dari itu, mampu menjadi sahabat dan pendamping siswa sebagai tempat menyampaikan keluh kesah mereka. Pada peran seperti ini, sosok seorang guru benar-benar laksana embun, laksana air yang menyejukkan setiap pribadi yang bersentuhan dengannya.

Kehadiran seorang guru tetap sangat dibutuhkan. Itulah sebabnya, guru harus memiliki kemampuan multi-talented, kemampuan yang bukan hanya sekadar dapat mentransfer ilmu dan pengetahuan, namun mampu membekali siswa dengan kemampuan mengolah hati dan emosional yang dapat menjadikan siswa layaknya anak sendiri.

Keberadaan guru bagi orang tua siswa sangat krusial. Terbukti saat masa pandemi covid-19, betapa banyak orang tua yang mengaku tidak mampu mendidik anaknya di rumah. Minggu pertama dan ke-dua, orang tua masih sabar menghadapi anaknya. Minggu-minggu selanjutnya, sudah mulai emosi. Tidak jarang, orang tua menghukum anaknya hanya karena mereka susah diajar.

Banyak siswa yang tidak menyukai mata pelajaran tertentu. Sebenarnya bukan pelajarannya yang tidak disukai, tetapi gurunya yang mereka tidak suka. Gurunya tidak menyenangkan dan kurang menarik. Jadi, kecintaan siswa pada mata pelajaran terletak pada kecintaan mereka kepada gurunya. Kehadiran guru di kelas, bukan bagaimana memberikan nilai kepada siswa, tetapi bagaimana mereka mencintai ilmu, sehingga walaupun sudah lulus, mereka tetap belajar ilmu itu secara mandiri.

Tugas guru di kelas tidak hanya sekadar menyampaikan ilmu, namun yang lebih penting adalah bagaimana mengantarkan siswa mengetahui titik lebihnya. Dengan mengetahui titik lebih pada dirinya, siswa mampu menjadi sosok yang bermakna. Guru harus melayani siswa sesuai dengan kemampuan dan gaya belajarnya masing-masing. Guru tidak boleh menyamakan kecerdasan yang dimiliki siswanya.

Pada suatu ketika, Albert Einstein pernah berujar: jerapah akan terlihat bodoh ketika harus berenang. Ikan akan terlihat dungu manakala harus terbang. Burung yang gagah dengan sayapnya akan terlihat lemah ketika ikut lomba berlari. Oleh karena itu, tugas guru bukan bagaimana memastikan siswa belajar, tetapi tugas guru adalah bagaimana menemukan potensi terbaik siswanya untuk menjadi “sesuatu” kelak kemudian hari.

Tidak ada siswa yang bodoh, yang ada adalah guru belum menemukan kelebihan dari siswa tersebut. Setiap siswa memiliki kelebihan dan kekurangan. Masing-masing dari mereka memiliki kelebihan di bidang yang berbeda-beda. Tidak ada otak pintar atau otak bodoh. Yang ada adalah otak yang terlatih. Tugas guru adalah bagaimana melatih otak siswa dan menemukan kelebihan siswa tersebut.

Guru yang baik adalah guru yang selalu memberikan apresiasi kepada siswanya. Sekecil apapun kelebihan atau kebaikan yang dilakukan siswa, guru harus memberikan apresiasi. Guru harus menghargai proses yang dilakukan siswa, bukan melihat hasilnya saja.

Meminjam kalimat dari seorang motivator, Aris Ahmad Jaya, “jempol jangan disimpan di saku. Jempol guru sangat dinanti oleh siswa. Tangkap basah kebaikan yang dilakukan siswa. Tempa besi selagi panas.” Artinya, manfaatkan momentum yang tepat ketika siswa melakukan kebaikan, bukan hanya menghargai mereka ketika kenaikan kelas saja.

Masih dalam pandangan Aris Ahmad Jaya, ada tiga tingkatan guru dalam menghadapi pembelajaran siswa. Pertama, mengajar. Guru jenis ini hanya memindahkan ilmu yang ada di kepalanya ke kepala siswa. Guru ini memberikan Pekerjaan Rumah (PR) segudang, hanya mengejar ketercapaian kurikulum. Guru seperti ini mencetak pengangguran berjamaaah karena out put dari caranya mengajar dapat digantikan oleh mesin.

Kedua, mendidik. Guru jenis ini, selain mentransfer ilmu, juga menanamkan karakter. Guru tipe ini akan menyisipkan nilai-nilai karakter dalam pembelajarannya. Jika menjadi guru matematika, ia bukan hanya mengajarkan berhitung, tapi juga menanamkan nilai-nilai kejujuran. Jika guru IPS, dirinya akan mengajarkan bagaimana menghargai jasa para pahlawan. Jika guru IPA, dia akan menyampaikan kekuasaan Allah lewat alam semesta.

Ketiga, menginspirasi. Guru jenis ini menjadi teladan bagi siswanya. Perkataannya akan menjadi sabda, perilakunya akan menjadi contoh. Guru ini akan digugu dan ditiru. Tidak ada perkataan yang sia-sia keluar dari mulutnya, tidak ada perilakunya yang membuat siswanya tersakiti.

Sebagai guru, pada kategori manakah kita berada? Mengajar, mendidik, atau menginspirasi?

Selamat Hari Guru Nasional Tahun 2022, “Berinovasi Mendidik Generasi”.

Editor: Saiful Maarif



Terkait