Nilai Dasar Islam Mengenai Disabilitas dan PAI pada SLB

Illustrasi Foto (Direktorat PAI Kemenag)
Oleh: Drs. Kaharuddin Noor (Kasi PAIS Kanwil Kemenag Kota Yogyakarta)
Pada dasarnya manusia adalah makhluk bertuhan, bahkan fitrah sejak lahirnya adalah  beragama Islam, sebagaimana difirmankan Allah dalam Al-Quran surat Ar-Ruum 30 : “Maka hadapkankah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia  menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”

Dalam perjalanannya, anak manusia bisa  menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Oleh karenanya, dalam hal ini peran dan pengaruh orang tua menjadi sentral. Kewajiban anak manusia yang secara fitrahnya sudah beragama (Islam) adalah senantiasa menguatkan dan meningkatkan kualitas beragamanya. Hal demikian berlaku pula terhadap orang dan anak penyandang disabilitas.

Dalam memandang penyandang disabilitas, Islam mengedepankan tiga nilai dasar, yaitu nilai dasar tauhid, nilai dasar keadilan, dan nilai dasar kemaslahatan. Nilai dasar tauhid meniscayakan bahwa semua makhluk hidup merupakan ciptaan Allah yang harus dimuliakan. Semua manusia memiliki martabat yang sama. Difabel bukan sebagai kutukan dari Allah SWT atau hasil dari perbuatan buruk manusia. Pandangan ini dilanjutkan dengan seruan agar melindungi dan membantu mereka yang lemah dan terlemahkan. Nilai dasar keadilan meniscayakan bahwa Allah tidak menilai bentuk fisik, melainkan keimanan dan ketakwaan.

Sementara itu, nilai dasar kemaslahatan  menunjukkan bahwa semua menusia memiliki status yang sama sebagai khalifah Allah di bumi, semua berhak berkontribusi nyata dalam semua bidang. Mengenai hak mendapatkan layanan pendidikan, Pembukaan UUD 1945 mengungkapkan bahwa salah satu tujuan bernegara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, tidak terkecuali bagi penyandang disabilitas.  Secara lebih spesifik  Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pada Bab IV pasal 5 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.

Dari sekian ratus juta jiwa jumlah warga negara Indonesia , menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2018, terdapat 14,2 % atau 30,38 juta jiwa penyandang disabilitas. Sementara itu, makna penyandang disabilitas, sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016  tentang Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Terkait dengan anak penyandang disabilitas atau berkebutuhan khusus, hak untuk mendapatkan layanan pendidikan itu diselenggarakan pendidikan khusus. Ayat (2) Undang-Undang tersebut menetapkan: warga negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Dalam hubungannya dengan pendidikan agama, Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan pasal 3 ayat (1) mengatur bahwa setiap satuan pendidikan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan  wajib menyelenggarakan pendidikan agama. Dari kutipan pasal demi pasal beberapa ketentuan dalam perundang-undangan tersebut, terlihat bahwa hak penyandang disabilitas untuk mendapat layanan pendidikan sudah cukup kuat  kuat dijamin Undang - undang.

Penyandang disabilitas  secara fisik memiliki keterbatasan dibanding anak atau orang-orang lain pada umumnya. Namun demikian, mereka tetap berhak, bahkan harus, mendapatkan kesempatan atau fasilitas dalam upaya meningkatkan dan mengembangkan potensinya, termasuk spirit dalam beragama. Dalam  Islam, apa yang bisa dicapai masing-masing orang dalam mengamalkan ajaran Islam bervariasi, karena hal ini terkait dengan kadar keimanan dan ketakwaan seseorang, terlebih mungkin  terkait dengan keterbatasan-keterbatasan fisik seseorang (penyandang disabilitas) dalam mengamalkan ajaran Islam. Al-Quran menyinggung masalah ini di dalam surat At-Taghabun 16 : “Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu..........”Kata kunci dalam potongan ayat ini adalah “ma istathaitum”, menurut kesanggupan manusia.

Oleh karenanya, tentu merupakan sebuah ketidakadilan untuk menyamakan hasil capaian peningkatan kadar beragama anak atau orang berkebutuhan khusus dengan capaian orang-orang pada umumnya. Pada dasarnya, mereka memiliki keterbatasan seperti itu bukan atas kehendaknya. Berangkat dari makna “ma istatha’tum” dan selaras dengan spirit dalam perundang-undangan, maka bagi anak atau orang berkebutuhan khusus, idealnya, diperlukan para pemandu dan media khusus dalam peningkatan kadar beragamanya. Bisa saja, seorang berkebutuhan khusus (dalam kadar ringan  sampai sedang) berada bersama-sama dengan orang umum dalam satu majelis taklim supaya merasa tidak tersisih dan menumbuhkan kepercayaan diri yang diperlukan dalam interaksi sosial.

Demikian halnya untuk pendidikan formalnya. Proses pendidikan formal  yang memiliki rencana pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran dan evaluasi hasil pembelajaran, diharapkan lebih sempurna dalam layanan pendidikan terhadap anak berkubutuhan khusus, sehingga peningkatan kadar beragama anak penyandang disabilitas di sekolah formal  dapat berjalan optimal. Menyampaikan pelajaran kepada anak penyandang disabilitas atau berkebutuhan khusus memerlukan keahlian tersendiri, terlebih lagi pelajaran agama, yang dalam banyak hal memerlukan penghayatan. Beberapa capaian dari pembelajaran khusus ini nyatanya bisa terlihat, bisa diindera. Sebagai contoh, berapa banyak anak-anak tunanetra bisa dikenalkan dengan huruf  braille. Mereka bisa memperluas wawasan melalui membaca dengan huruf braille.

Anak-anak berkebutuhan khusus bisa dikenalkan membaca Al-Quran dengan huruf braille. Mereka bisa membaca Al-Quran braille dengan lancar, bahkan meningkat ke Seni Baca Al-Quran. Artinya, setelah anak-anak berhasil dibimbing bisa membaca Al-Quran, kemampuan mereka meningkat perlahan-lahan untuk mempelajari lagu atau seni Baca Al-Quran. Dalam gelaran MTQ sering terdapat lomba MTQ yang menyertakan para Tunanetra sebagai bagian pesertanya. Pada prakteknya, kemampuan peserta MTQ golongan tunanetra dapat disimak dari sisi tajwid, makhroj, shifatul huruf  dan lagu. Kemampuan mereka bisa setara atau bahkan sama dengan peserta umum. Bukan tidak mungkin kemampuan mereka justru lebih baik dibanding peserta umum. Ini salah satu contoh keberhasilan pembelajaran agama pada penyandang disabilitas setelah melalui media khusus, metode khusus, dan pemandu dengan keahlian khusus serta dukungan lainnya.


Terkait