Pengembangan Kurikulum PAI pada Sekolah Penggerak

Illustrasi Foto (Direktorat PAI Kemenag)




Oleh: Ai Kustini, S.Pd.I, M.Pd. (Guru PAI SMPN 2 Cikajang Kabupaten Garut)



Artikel ini adalah tugas mandiri peserta Workshop Pengembangan Kurikulum PAI pada Program Sekolah Penggerak yang dilaksanakan Subdit SMP/SMPLB di Yogyakarta 13-15 Oktober 2021

Upaya memperkuat jati diri bangsa pada kalangan pelajar telah lama mejadi fokus utama pemerintah. Hal ini mengingat perilaku negatif bahkan kriminal di kalangan pelajar, jelas kontradiktif dengan tujuan pendidikan nasional dan tidak mencerminkan karakter Pancasila. Secara fundamental, Pendidikan Agama Islam mampu secara positif berkontribusi dalam mewujudkan visi pembangunan nasional dan kebijakan sekolah penggerak. Dengan keyakinan dasar seperti ini, PAI eloknya mampu beradaptasi secara produktif dengan perkembangan kurikulum terkini. Kebijakan mengenai sekolah penggerak semestinya sejalan dan kompatibel dengan nilai dan prinsip dasar pengajaran PAI.

Pada satu sisi, kebijakan sekolah penggerak secara eksplisit bertujuan untuk mengembangkan secara holistik kompetensi dan karakter pelajar Pancasila. Pada sisi PAI, pengembangan kurikulum dan proses adaptif dengan kebijakan sekolah penggerak tidak akan terlalu sulit dijalankan Hal ini mengingat fokus lima ruang lingkup materi terletak pada perwujudan karakter religius dalam arti luas, yakni kekokohan keyakinan, ketaatan ibadah, dan diimplementasikan dalam dua bentuk kehidupan sosial, baik dalam hubungan interpersonal (aspek karakter moral) maupun dalam penggerak peradaban (aspek karakter kinerja), ini sangat koheren dengan visi pendidikan nasional dan kebijakan sekolah penggerak.

PAI dan Globalisasi

Isu tentang bagaimana mempersiapkan siswa dalam menghadapi globalisasi dengan segala dampaknya telah menjadi tren pembahasan berbagai negara di dunia (Boyer & Crippen, 2014; Ching Sing, Liang, Tsai, & Dong, 2020). Pada abad-21 ini, teknologi berbasis digital kian digandrungi kalangan siswa dan telah menjadi gaya hidup baru mereka. Perubahan ini sudah barang tentu berdampak pada transformasi perkembangan sosial mereka; dari nyata menjadi maya (Daryanto, 2017). Ibarat dua sisi mata uang, perkembangan teknologi ini memiliki sisi positif dalam memfasilitasi literasi para siswa secara cepat dan tanpa batas, namun sisi lainnya justru memiliki risiko ke arah negatif yang memperlihatkan karakter buruk bermedia sosial.

Bagi negara berkembang seperti Indonesia, risiko negatif itu kian menghawatirkan, hal ini terlihat dari data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang menginformasikan bahwa kasus bully, pelecehan seksual, dan tawuran antarpelajar yang kian marak. Dalam rentang tahun 2018 dan 2019 saja tak kurang dari 96 kasus pelecehan seksual dan 112 kasus pem-bully-an yang berakhir menjadi perkelahian dan tawuran (Fajar, 2018; Suciatiningrum, 2019).

Perilaku negatif, bahkan kriminal, di kalangan pelajar yang terjadi itu jelas kontrakdiktif dengan tujuan pendidikan nasional dan tidak mencerminkan karakter Pancasila sejati. Jika menengok tujuan pendidikan nasional, maka gambaran siswa setelah mereka menempuh pendidikan di sekolah seharusnya mengindikasikan perilaku dengan karakter yang mencerminkan pribadi beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, menguasai kompetensi keilmuan, terampil, demokratis, dan bertanggung jawab (lihat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Karakter-karakter demikian tentu dalam rangka mewujudkan karakter Pancasila dengan lima sila esensial; peri ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan. Performa karakter tersebut sangat penting dimiliki para pelajar, oleh karena secara realitas, negara dan bangsa Indonesia sangat berbhineka (Maarif, 2015; Sauri, 2010; Sumantri, 2011).

Dalam upaya memperkokoh jati diri bangsa bagi kalangan pelajar, bidang pendidikan memiliki posisi yang sangat strategis. Berkaitan dengan fakta-fakta sebelumnya, sekolah sudah seharusnya menempatkan diri dalam posisi sebagai penggerak. Syaratnya adalah seluruh komponen sekolah harus berjalan seirama dan berpadu secara harmonis. Sebagai bagian dari komponen sekolah, Pendidikan Agama Islam (PAI) harus adaptif, mendukung kebijakan sekolah penggerak, dan secara terbuka berani mengambil terobosan-terobosan dalam pengembangan kurikulum.

Tren Pendidikan Karakter Bangsa

Upaya memperkuat jati diri bangsa bagi kalangan pelajar telah mejadi fokus utama di berbagai negara, bahkan negara besar dan maju sekalipun. Inggris, misalnya, dalam kajian Arthur dan Harrison (2012), menginformasikan bahwa pendidikan karakter telah menjadi kebijakan strategis negara dalam rangka mewujudkan warga negara yang baik.

Dalam kancah Eropa, kajian Horst, Erdal, dan Jdid (2020) menunjukkan bahwa menjadi warga negara yang baik dengan menghormati ruang partisipasi publik dan privat adalah hal urgen bagi negara, sehingga diperlukan upaya rekonseptualisasi warga negara. Temuan Sunal, Christensen, Shwery, Lovorn, dan Sunal (2010) menggambarkan bahwa Amerika dan negara di kawasan Amerika Selatan (Brasil, Kolombia, Ekuador, dan Paraguay) telah menjadikan konten-konten budaya dalam transformasi untuk mengembangkan siswa mengenal identitas mereka sebagai warga negara yang baik.

Lalu bagaimanakah dengan Indonesia? Dalam posisi tren isu ini sebenarnya Indonesia seharusnya lebih unggul. Betapa tidak, dari dahulu sampai sekarang, bangsa-bangsa dunia mengenal Indonesia adalah negara yang penuh keragaman: multikultur, etnis, bahasa, agama, dan lain-lain. Bahkan, walaupun mayoritas penduduk beragama Islam, sejarah telah mencatat bahwa kalangan muslim begitu sangat inklusif (terbuka) dan menerima perbedaan sebagai suatu keniscayaan. Muslim berperilaku demikian, bukan karena keterpaksaan, melainkan karena menyadari bahwa menghargai perbedaan adalah bagian dari ruh ajaran agama, bahkan sangat memahami bahwa perbedaan adalah bagian dari sunatullah (Harahap, 2015).

Sekolah Penggerak dan PAI

Kebijakan sekolah penggerak secara eksplisit bertujuan untuk mengembangkan secara holistik kompetensi dan karakter pelajar Pancasila. Sehingga demikian, seluruh mata pelajaran yang diampu para guru, termasuk PAI harus mengarah pada pencapaian tujuan itu.

Muhaimin (2004) mengungkapkan PAI merupakan sebuah upaya menanamkan nilai-nilai ajaran Islam sebagai hasil interaksi edukaktif antara siswa dengan guru dalam suatu pembelajaran dengan tujuan akhir akhlakul karimah. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan Bab 1 Pasal 1 dan 2 menegaskan bahwa pendidikan agama dan keagamaan di sekolah menekankan pada beberapa aspek penting, yakni: memberikan pengetahuan, membentuk sikap dan kepribadian, memberikan sejumlah keterampilan sehingga para siswa mampu mengimplementasikan nilai-nilai agama yang dilandasi kekokohan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Kementerian Hukum, 2015). Tujuan PAI tersebut sejalan dengan kebijakan sekolah penggerak yakni mewujudkan kompetensi siswa yang holistik dan berkarakter Pancasila yang diimplementasikan dalam kehidupan mereka, baik sebagai individu, bagian dari masyarakat dan bangsa.

Berkaitan dengan gambaran tersebut, pengembangan kurikulum PAI di SMP dalam kebijakan sekolah penggerak adalah sebuah keniscayaan. Setidaknya terdapat beberapa argumen mengapa hal tersebut penting.

Pertama, bahwa definisi kurikulum mengarah kepada kerangka kerja yang menjadi acuan pembelajaran bagi guru dan stakeholders sekolah lainnya.

Kedua, bahwa kurikulum merupakan sebuah sistem yang bergerak dinamis baik sisi perencanaan, pelaksanaan dan evaluasinya.

Ketiga, bahwa kurikulum disusun dan berposisi sebagai peta jalan pendidikan suatu bangsa ke depan. Berdasarkan argumen-argumen tersebut, maka acuan dasar pengembangan kurikulum PAI di SMP dalam kebijakan sekolah penggerak memiliki beberapa syarat, yakni: (1) dikembangkan secara logis dan sistematis (Didiyanto, 2017); (2) futuristik yang senantiasa adaptif dengan dinamika zaman (Bahri, 2017); (3) relevan dengan apa yang dibutuhkan siswa sesuai zaman dan perkembangan di dalamnya (Huda, 2017).

Dua fokus utama kompetensi siswa dalam kebijakan sekolah penggerak adalah literasi dan numerasi serta satu dimensi lainnya yakni karakter pelajar Pancasila adalah dasar bagi pengembangan kurikulum PAI. Dengan demikian, pengembangan kurikulum PAI SMP di sekolah penggerak harus memiliki paradigma integratif antara human-being dengan tecno-being (Dewi, 2019), maksudnya berkarakter baik dan berkemampuan literasi dan numerasi handal.

Lima Esensi Pengembangan Kurikulum PAI

Keberhasilan pengembangan kurikulum PAI dalam kebijakan sekolah penggerak harus mempertimbangan lima hal esensial di dalamnya. Kelima hal itu merupakan syarat mutlak dan harus terlaksana dengan baik.

Pertama, pendampingan konsultatif dan asimetris, maksudnya Kemendikbud melalui unit pelaksana teknis di masing-masing provinsi memberikan pendampingan bagi pemerintah daerah kabupaten atau kota dalam merencanakan program sekolah penggerak dan secara khusus mata pelajaran PAI di dalamnya.

Kedua, penguatan SDM sekolah, maksudnya melakukan pelatihan-pelatihan secara sistematis, terprogram, dan terukur terhadap seluruh stakeholders sekolah yang terdiri atas kepala sekolah, pengawas sekolah, penilik, dan termasuk guru, dalam hal ini guru PAI wajib terlibat di dalamnya. Program-programnya dapat berbentuk in-house training, lokakarya, atau coaching.

Ketiga, pembelajaran dengan paradigma baru yang menekankan pembelajaran PAI yang bersifat adaftif dan terbuka terhadap perkembangan-perkembangan yang menjadi realitas. Oleh karena setiap siswa memiliki potensi dan karakteristik belajar yang beragam, maka semestinya perlakukan pembelajaran mereka tidak persis sama dilakukan. Dalam kebijakan sekolah penggerak disebut dengan prinsip pembelajaran yang terdiferensiasi sesuai dengan kebutuhan dan tahap perkembangan siswa. Akan tetapi tetap, tujuannya mengacu pada penguasaan kompetensi literasi dan numerasi serta profil pelajar Pancasila.

Keempat, perencanaan berbasis data, maksudnya pengoptimalkan sekolah sebagai sebuah sistem, organisasi, dan manajemen. Maksudnya seluruh stakeholders sekolah menampilkan kinerja optimal sesuai dengan tugas pokok dan fungsi yang diurai dalam job-desk masing-masing. Analisis situasional oleh guru PAI sangat penting dilakukan sebagai bahan menyusun program secara sistematis; maksudnya jelas perencanaan pembelajarannya, jelas programnya, terukur dan efektif pelaksannaannya, nyata output-nya, serta berdampak pada outcome dari profil muslim dan pelajar Pancasila sehingga memiliki benefit (keuntungan) dalam membangun peradaban bangsa berbasis kekokohan agama.

Kelima, digitalisasi sekolah, maksudnya sekolah secara berproses diterapkan untuk meningkatkan kinerja stakeholders sekolah dalam penelusuran informasi-informasi global kekinian. Literasi digital ini sangat penting sebagai upaya mendorong literasi data yang banyak dan terseleksi. Akan tetapi tetap saja, penguatan literasi humanitas melalui pembelajaran PAI tetap menjadi prioritas sebagai pembelakalan utama karakter para siswa sehingga mereka mampu menggunakan alat digital secara bertanggung jawab dan menelusuri konten-konten di dalamnya secara baik.

Tantangan Pembelajaran dengan Paradigma Baru

Kelima ruang lingkup PAI tersebut merupakan dasar pengembangan bagi para guru. Acuan dasar dalam pengembangan tersebut mengarah pada dua hal, yakni visi pendidikan Indonesia dan pembelajaran dengan paradigma baru.

Pelajar Pancasila merupakan fokus utama dari visi dan misi pendidikan Indonesia. Profil ini mencakup enam karakter inti yakni: beriman dan bertakwa terhadap Tuhan YME dan berkahlak mulia, mandiri, bernalar kritis, berkebhinekaan global, bergotong royong, dan kreatif. Upaya-upaya tersebut dapat PAI wujudkan dengan menempuh dua program utama, intrakurikuler dan ko-kurikuler.

Sebagai salah satu mata pelajaran dengan fokus untama mengembangkan karakter religius siswa, maka PAI ditantang mampu mengimplementasikan pembelajaran dengan paradigma baru tersebut. Jika religius dipandang hanya berkaitan dengan keyakinan dan ketaatan beribadah saja, maka sesungguhnya persepsi tersebut cenderung sempit (Shihab, 2001). Karakter religius merupakan karakter dimana kekokohan keyakinan, ketaatan ibadah, dan diimplementasikan dalam dua bentuk kehidupan sosial. Bentuk pertama yakni hubungan interpersonal/baik terhadap sesama, toleran, dan saling menghormati (aspek karakter moral) dan bentuk kedua adalah menjadi penggerak peradaban (aspek karakter kinerja). Kedua bentuk tersebut adalah esensi dari PAI di sekolah dan menjadi koheren dengan visi pendidikan nasional dan kebijakan sekolah penggerak.

Pada akhirnya, harus dipahami bahwa persoalan karakter merupakan isu global yang kian hari mendapat perhatian serius dari seluruh pemimpin bangsa, termasuk Indonesia. Kebijakan sekolah penggerak merupakan upaya merespon perilaku negatif bahkan kriminal di kalangan pelajar yang terjadi itu, jelas kontrakdiktif dengan tujuan pendidikan nasional dan bahkan tidak mencerminkan karakter Pancasila sejati.

Oleh karenanya, PAI ditantang untuk adaptif dan sejalan dengan kebijakan sekolah penggerak yakni mewujudkan kompetensi siswa yang holistik dan berkarakter Pancasila yang diimplementasikan dalam kehidupan mereka, baik sebagai individu maupun bagian dari masyarakat dan bangsa.

Karakter religius merupakan karakter di mana kekokohan keyakinan dan ketaatan ibadah diimplementasikan dalam dua bentuk kehidupan sosial, yakni hubungan interpersonal (aspek karakter moral) dan penggerak peradaban (aspek karakter kinerja). Kedua hubungan ini sangat koheren dengan visi pendidikan nasional dan kebijakan sekolah penggerak.

Editor: Saiful Maarif

Penyiap Bahan: Arief Hilaluzzaman, Adi Anugrah









Terkait