Perempuan (Menjadi) Cerdas, Bolehkah?

Illustrasi Foto (Direktorat PAI Kemenag)









Oleh: Emi Indra (Guru Pendidikan Agama Islam SMPN 1 Kota Palu, Sulawesi Tengah)

Meski singkat, berikut adalah sekelumit cerita tentang cita-cita, harapan, bahkan idealitas seorang perempuan. Momen Hari Kartini pada 21 April lalu menebalkan hasrat untuk menunjukkan bahwa inilah kami, perempuan Indonesia, dengan asa dan harapan yang membuncah. Namun, perihal perempuan adalah seluas kehidupan itu sendiri, dan karenanya saya harus menemukan batas untuk dibahas.

Saya menemukan batas ruang keinginan tersebut dalam tema yang sangat individual, yakni kecerdasan. Tepatnya, saya menemukannya dalam sebentuk pertanyaan: perempuan cerdas, bolehkah?

Dalam beberapa hal, kegelisahan Ibu Kartini sudah mewakili pertanyaan tentang boleh-tidaknya perempuan menjadi cerdas. Saya hanya mengulangnya dalam porsi yang juga sangat bersifat individual. Saya ingin memulainya dari cerita saat kanak-kanak.

Masih hangat dalam ingatan, ketika saya masih duduk di bangku SD, guru menanyakan apa cita-cita kami. Semua siswa di kelas beramai-ramai menyebutkan cita-citanya, termasuk saya. Ada yang bercita-cita menjadi polisi, presiden, tentara, guru, pilot, gubernur, kepala desa, dan masih banyak lagi keinginan dari anak-anak kecil.

Cita-cita yang terungkapkan dari mulut mungil kami itu keluar spontan tanpa berpikir panjang. Terkadang cita-cita yang kami ungkapkan lebih kepada kekaguman terhadap profesi yang kami sebut. Kami tidak mengetahui bagaimana proses menggapainya dan bagaimana cara kerjanya, pokoknya itu hasil kekaguman.

Saya secara spontan juga menyebutkan cita-cita yaitu menjadi guru. Saya tertarik pada profesi ini karena terinspirasi dari kepala sekolah saya. Kepala sekolah saya seorang perempuan. Perawakannya kecil, lincah, tegas, disiplin, dan yang tak kalah menarik buat saya adalah kepintarannya. Saya sangat kagum kepada perempuan-perempuan yang cerdas, baik cerdas dalam hal tulis menulis maupun cerdas pada saat berargumen.

Waktu berjalan, saya pada akhirnya menjadi Guru Pendidikan Agam Islam (GPAI) kini. Dengan segala upaya yang mesti dilalui, personal maupun akademik, jabatan dan amanah selaku GPAI bukanlah tugas yang asal lalu saja. Sebagaimana GPAI dan guru mapel lainnya, kami terhubung erat dengan tugas menyiapkan generasi mendatang agar terbangun karakter yang kuat di mana Profil Pelajar Pancasila adalah ukuran terkininya.

Dengan target menjadikan generasi mendatang seperti itu, kami, perempuan muslimah dan GPAI, dengan sendirinya mesti mampu menjadi panutan dan memiliki tingkat kecerdasan dan akhlakul karimah yang terukur dengan baik.

Perempuan cerdas IQ dan cerdas akhlak serta ibadahnya merupakan perempuan dambaan. Lalu, salahkah jika kita mempunyai keinginan untuk menjadi perempuan seperti itu?

Tidak ada yang salah dan tidak ada pelarangan untuk mewujudkan keinginan itu, bahkan Islam menganjurkan kepada perempuan-perempuan muslimah memiliki kecerdasan tinggi agar kelak bisa melahirkan dan mendidik putra-putri yang cerdas, saleh-salihah, putra-putri pemimpin bangsa.

Islam melarang keras kepada perempuan untuk merendahkan diri, tidak percaya diri, dan suka mengeluh serta takut bermimpi.

Ah, saya, kan cuma perempuan, ujung-ujungnya juga hanya akan menjadi ibu rumah tangga yang kebanyakan tinggal di rumah. Buat apa bermimpi tinggi-tinggi, kembalinya pasti kasur, sumur, dan dapur. Inilah pandangan inferior dalam diri perempuan.

Mengikis Pandangan Inferior

Dalam pandangan yang melihat peran perempuan hanya sejauh titik domestiknya (kasur, sumur, dan dapur), sejatinya peluang perempuan untuk “menjadi”, meng”ada”, atau diakui dalam jati dirinya sendiri sangat tipis, jika bukan malah tidak ada. Perempuan bahkan sudah menemui masalah dalam penyebutan identitas dirinya.

Pada mulanya, sekedar diksi seksis (menyebut sebagai perempuan atau wanita) saja kerap masih menjadi masalah atau perkara yang ditabukan. Penyebutan wanita di Indonesia begitu politis dan dilematis sejak era Orde Lama hingga Orde Baru.

Susan Blackburn dalam bukunya yang berjudul Women and the State in Modern Indonesia (2004) mengatakan, penggunaan kata wanita menjadi sangat politis dalam beda kehendak antara penguasa. Intinya, bahasa kekuasaan ingin menjadikan wanita sebagai penamaan pihak yang “penurut”, tidak neko-neko, dan karenanya tidak diperbolehkan bermimpi sebagai pemimpin atau memiliki pemikiran kritis dan cerdas.

Beberapa pengamat menyebut peran inferior itu sebagai Ibuisme Negara. Dalam penyebutan ini, negara mengkampanyekan perempuan adalah mahkota yang dipuji sebatas peran domestiknya saja, dan jangan berharap lebih dari itu.

Namun demikian, warna baru mulai terlihat setidaknya saat penyebutan Menteri Negara Peranan Wanita diganti menjadi Menteri Negara Peranan Perempuan (Meneg PP).

Selain itu, pada faktanya, telah banyak catatan sejarah yang diukir dengan tinta emas nama-nama perempuan hebat yang bisa mengubah dunia. Jika menyebut perjalanan sejarah dunia, di mana peran perempuan terlihat nyata di dalamnya, terlalu berpanjangan, maka lihatlah nama dan peran 100 perempuan terkemuka versi majalah Forbes tahun 2021.

Tersebutlah Kanselir Jerman Angela Merkel (1), Presiden Bank Sentral Eropa Christine Lagarde (2), dan Senator AS Kamala Harris (3). Di tangan mereka, percayalah, arah sejarah dunia bisa sangat dipengaruhi peran, tugas, dan jabatan mereka.

Oleh karena itu, pandangan perempuan hanya pada peran domestiknya perlu kita kikis bahkan dihilangkan di muka bumi.

Merajut Mimpi

Jangan lagi mengaitkan antara impian dengan gender. Masing-masing kita mempunyai kelemahan dan kekurangan. Optimalkan kelebihan yang telah diberikan Allah, jangan sampai kita hanya mengumbar kelemahan hingga lupa bahwa kita pun memiliki sesuatu kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang lain yang berpotensi melejitkan hidup kita.

Ada banyak manusia yang memiliki kekurangan, namun kekurangan itu dioptimalkan hingga menjadi suatu kelebihan. Bagi individu spertii ini, kekurangan bukan menjadi penghalang untuk menyimpan mimpi yang melambung tinggi. Allah menetapkan nasib manusia berdasarkan harapan dan upaya yang dimilikinya.

Hidup bukan untuk disesali, tapi diperjuangkan. Hidup bukan untuk diratapi tapi dijawab dengan tindakan-tindakan. Karena Allah akan melihat seberapa besar usaha manusia dalam mengubah dan memperjuangan hidupnya. Jika impian kita besar, Allah akan meminta semesta memudahkan dalam mewujudkan apa yang diimpikan.

Lalu bagaimana cara mewujudkan impian untuk menjadi perempuan cerdas? Ada empat cara menurut Ahmad Rifa’i Rif’an (The Perfect Muslimah, 2012).

Pertama, hadirkan manusia-manusia keramat. Di dunia ini sebenarnya telah disediakan jalan tol untuk pengabulan keinginan yang bersifat ekspres. Jalur ini jauh lebih cepat dibanding jalur yang diikuti umum.

Jalur ini hampir bebas hambatan bahkan balasannya lebih dahsyat, yakni dengan menghadirkan manusia-manusia keramat. Siapa saja manusia keramat itu? Kedua orang tua, anak yatim piatu, fakir miskin, orang terzalimi, ulama, dan orang saleh. Mereka adalah manusia keramat yang kehadirannya sangat dimuliakan Allah.

Kedua, Action. Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Allah tidaak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubahnya. Kerasnya usaha dan upaya yang kita lakukan merupakan pembuktian kepada Allah bahwa kita benar-benar serius ingin mewujudkan mimpi kita. Melihat orang serius, apakah Allah akan diam saja? Jawabnya tentu tidak. Man Jadda wa Jada.

Ketiga, Gratitude. Kekuatan gratitude (rasa syukur) tidak kalah pentingnya. Anjuran bersyukur telah tersampaikan ratusan tahun yang lalu. Siapa yang bersyukur, hidupnya semakin makmur. Siapa yang kufur, nasibnya bakal hancur. Banyak penelitian yang mengungkapkan dahsyatnya rasa syukur. Orang (perempuan) yang selalu bersyukur akan dimudahkan keinginan-keinginannya.

Keempat, Pray. Berdoa merupakan cara meraih sukses dengan perantara langit. Apa saja perantara langit yang menjadi jalan tol untuk terkabulnya impian kita? Rutinkan tahajud, berdoalah di tempat istimewa dan mustajabnya doa, doa dari orangtua, puasa sunah, perbanyak beristighfar dan perbanyaklah menangis di sepertiga malam.

Insya Allah impian sebagai perempuan yang cerdas akan terkabulkan. Semoga di bulan Suci Ramadan ini, keinginan para perempuan muslimah terkabulkan.

Editor: Saiful Maarif



Terkait