Menado (Direktorat PAI) -- Provinsi Sulawesi Utara menunjukkan prestasi mengesankan menurut survey kerukunan beragama yang dirilis beberapa lembaga. Dalam Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) Kementerian Agama tahun 2021 dan Indeks Kota Toleran (IKT) tahun 2021 Setara Insitute, capaian Sulawesi Utara dalam konteks toleransi dan Kerukunan Beragama menempati posisi yang sangat meyakinkan.
Dalam IKT 2021, Sulawesi Utara memiliki dua wakilnya dalam urutan 5 besar pemeringkatannya, yakni Manado (2) dan Tomohon (5). Sementara itu, dalam Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) Kementerian Agama tahun 2021, Sulawesi Utara menempati peringkat 3 dengan perolehan skor 76,35.
Pencapaian dalam indeksasi kerukunan dan toleransi tersebut adalah wujud kualitas penerimaan terhadap keragaman dan dukungan pada toleransi beragama. Hal demikian juga merupakan buah dari upaya dan budaya warga setempat yang telah berakar kuat. Tak kalah penting, aspek pendidikan juga berperan signifikan di dalamnya dalam menyemai nalar moderasi beragama dalam pengertian seluasnya.
Dalam derap kebijakan moderasi beragama, Direktorat Pendidikan Agama Islam Kementerian Agama mendapat amanah untuk makin memperkuat insersi, adaptasi, dan pelaksanaan moderasi beragama di sekolah dan perguruan tinggi umum.
Dalam kaitan demikian, Tim Media Direktorat Pendidikan Agama Islam berinisiatif melakukan wawancara dengan Kakanwil Kemenag Provinsi Sulawesi Utara, Anwar Abubakar, S.Ag, M.Pd., di Manado (21/4/2022). Wawancara dilakukan dalam konteks penyusunan feature moderasi beragama di sekolah Direktorat Pendidikan Agama Islam Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama.
Berikut wawancaranya:
Selamat atas capaian Sulawesi Utara dalam Indeks KUB Kementerian Agama dan IKT Setara Institute tahun 2021. Bagaimana Bapak menilai capaian Sulut dalam indeks dan survey tersebut?
Prestasi ini tentu saja patut disyukuri. Bagaimanapun juga hal tersebut tidak datang dengan tiba-tiba dan buah dari kerja keras bersama. Saya menilai, Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara telah mengembangkan mekanisme yang konsisten berjalan dalam upaya menjaga dan menguatkan toleransi beragama di wilayah Sulawesi Utara.
Di dalam upaya tersebut, berbagai unit terkait turut memberikan kontribusi dan peran masing-masing, termasuk Kantor Wilayah Kementerian Agama.
Ucapan selamat dan terima kasih patut ditujukan kepada warga Sulawesi Utara pada umumnya dan Kota Manado serta Tomohon pada khususnya, serta para pemangku kepentingan (stakeholder) terkait.
Bagaimana pandangan Bapak mengenai capain tersebut dari parameter pemetaan, prediksi, dan juga deteksi masalah terkait toleransi beragama di Sulut? Apakah dengan capaian tersebut menjadi indikasi sulut yang nirmasalah toleransi beragama?
Toleransi beragama jelas menyiratkan sinergi dan kolaborasi berbagai pihak terkait. Sebagai upaya bersama, toleransi beragama tidak berdiri sendiri sebagai sebuah upaya. Capaian dalam indeksasi Kerukunan Umat Beragama dan Kota Toleran se-Indonesia tersebut dalam banyak hal juga mencerminkan peta kualitas toleransi beragama di Sulawesi Utara.
Pemetaan ini penting untuk menjadi energi yang mendorong peningkatan kualitas toleransi beragama secara umum, bukan terutama pada upaya menjadi yang terdepan. Jika kualitas toleransi pada berbagai kabupaten kota yang menjadi target sampling telah memenuhi instrumentasi dan idealitas indeksasi dengan segenap kualifikasinya, dengan sendirinya pemeringkatan bukan merupakan hal yang utama.
Hal ini karena yang jauh lebih penting adalah kualitas pelaksanaan toleransi beragama itu sendiri. Indeksasi, dengan kata lain, bukan merupakan sebuah perlombaan atau tujuan akhir dengan tekanan kualifikasi paling baik dan buruk. Ini adalah pemetaan sekaligus sarana untuk refleksi bersama menuju harapan terwujudnya tatanan kualitas toleransi beragama yang lebih baik dan lestari.
Apa sesungguhnya, katakanlah, faktor kunci yang melatarbelakangi capaian indekasasi tersebut?
Berbicara tentang toleransi di Sulawesi Utara ini bukan sesuatu yang baru. Salah satu filosofi warga Sulawesi Utara dari dulu adalah “Sitou Timou Tumou Tou" (manusia hidup untuk memanusiakan manusia lain). Semangat hidup ini berupa dorongan untuk mengembangkan sikap lebih peduli dengan sesama yang membutuhkan uluran tangan kita. Itulah titik berangkat agar hidup kita menjadi lebih bermakna. Dengan sikap peduli, kita bisa atasi berbagai masalah ada.
Kepedulian sosial yang tinggi itu berjalan seiring dengan penghargaan terhadap keberagaman. Sulawesi Utara pada dasarnya diberkahi dengan keberagaman semenjak mula. Pada saat Kyai Mojo dan pasukannya diasingkan ke Tondano pada tahun 1829, beliau pada hakikatnya memberi dasar perlunya mengambangkan toleransi beragama dalam ajaran-ajarannya. Dalam pengasingannya, di samping terus menjaga semangat dan upaya perlawanan kepada kolonialisme, Kyai Mojo mendakwahkan Islam dengan jalan penuh damai.
Jalan damai tersebut terus dijaga dan malah lebih berkembang dengan baik saat kedatangan para misionaris ke bumi Nyiur Melambai. Bukannya terjadi jalan konflik dan perselisihan atas berkembangnya dua kutub tersebut, para pemuka agama dan pendakwah masing-masing agama lebih memilih sikap saling menjaga iman masing-masing dan tidak menyudutkan iman lainnya pada saat yang bersamaan.
Dalam banyak hal, kondisi ini sejalan dengan pandangan sejarawan Denys Lombard dan Anthony Reid mengenai khazanah keragaman di Nusantara, serta upaya penghormatan terhadap perbedaan. Keduanya mengafirmasi bahwa keragaman agama, suku, budaya, dan bahasa telah mengakar dalam diri masyarakat di Nusantara disertai keikhlasan untuk merawatnya.
Kondisi ini pada kelanjutannya mampu mendewasakan psikologi sosial warga Sulawesi Utara dalam interaksi sosial dan keragaman di dalamnya. Di Sulawesi Utara, lahir Badan Kerja Sama Antar Umat Beragama (BKSAUA) pada tahun 1965. BKSAU ini hadir jauh hari sebelum lahirnya Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) pada tahun 2017. BKSAU menjadi bukti pelembagaan cara berpikir yang menyatu, melebur, dan mengedepankan penghargaan terhadap perbedaan warga Sulawesi Utara. BKSAU telah dan terus secara aktif mempromosikan nilai-nilai kebersamaan dan moderatisme.
Pada saat Launching Aksi Moderasi Beragama pada September 2021, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menekankan pentingnya insersi Moderasi Beragama pada setiap lini program dan kebijakan, salah satunya dalam ranah Pendidikan Agama Islam. Terkait hal ini, bagaimana konstruksi kebijakan dan peta jalan (roadmap) Kanwil Kementerian Agama Provinsi Sulut dalam berkebijakan dan menggulirkan program terkait moderasi beragama pada domain Pendidikan Agam Islam dari jenjang dasar, menengah, hingga tinggi?
Apa yang menjadi arahan Gusmen Yaqut Cholil Qoumas mengenai moderasi beragama bersama sembilan nilai yang dikandungnya menjadi pedoman yang selalu kami jalankan dalam berkebijakan pada ranah Pendidikan Agama Islam dan pendidikan agama lainnya. Sembilan nilai tersebut sejalan dengan semua ajaran agama, sehingga tidak ditemukan benturan dan kontradiksi dalam upaya mewujudkannya. Saya yakin ini juga menjadi langkah yang sama oleh jajaran Kantor Wilayah Kementerian Agama lainnya.
Yang unik, di Sulawesi Utara secara eksplisit meletakkan kearifan lokal menjadi bagian dari sistem pembelajaran, utamanya terkait dengan insersi moderasi beragama. Dengan cara pandang “torang samua basudara” (kita semua bersaudara), anak-anak sudah dibiasakan mengelola perbedaan dengan arif. Cara pandang seperti ini selalu menjadi elemen dasar dalam proses pendidikan agama, termasuk Pendidikan Agama Islam di Sekolah.
Contoh kecil dari hal tersebut, kita bisa datang ke SMA 9 Kota Manado untuk melihat pelaksanaan buka puasa yang dihadiri dan dimeriahkan oleh para siswa yang non-muslim. Diinfokan oleh Bidang Pendis Kanwil Kemenag Sulut, kegiatan tersebut berjalan dengan baik dan mencerminkan toleransi beragama di sekolah lainnya.
Dalam kondisi bukan dominan secara statistik pemeluknya, bagaimana PAI tumbuh dan berkembang di Sulut?
Pada lembaga pendidikan di Sulawesi Utara, saya mlihat tidak ada pemikiran yang dikembangkan dengan pendekatan mayoritas dan minoritas, yang dominan dan tidak dominan, besar dan kecil, dengan niat merendahkan. Hal ini karena semua pihak dibesarkan oleh sikap untuk saling menghargai dan peduli sebagaimana yang saya sebut di atas.
Dalam lingkup seperti itu, Pendidikan Agama Islam di Sekolah, bersama entitas pendidikan agama lainnya, tumbuh dan berkembang secara aktif dan produktif, serta mampu berkontribusi menjadi bagian penting dari pelembagaan keberagamaan dalam konteks pendidikan agama di sekolah.
Secara umum, bagaimana strategi pengembangan PAI di Sulut dalam kaitan dengan insersi, adaptasi, dan pelaksanan moderasi beragama di sekolah?
Bidang Pendidikan Islam Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Utara senantiasa menjalankan koordinasi pada jajarannya mulai dari tingkat provinsi hingga Kabupaten/Kota. Koordinasi ini didukung oleh kerja sama yang konstruktif dengan bidang dan unit kerja terkait, serta mitra kelembagaan (MGMP, AGPAII, dan lainnya).
Secara rutin kami melakukan pertemuan dan kunjungan berkala untuk menyerap berbagai kendala yang dihadapi sekaligus merumuskan solusi secara bersama.
Apa harapan Bapak mengenai penguatan moderasi beragama pada level Pendidikan Agama Islam di Sulut?
Pada dasarnya, kita mesti terus mampu menjadikan agama sebagai inspirasi. Inilah kunci utamanya. Dengan menjadi inspirasi, agama akan menjembatani upaya sinergi dan kolaborasi dalam mengembngkan moderasi beragama dalam ranah Pendidikan Agama Islam di Sekolah kemarin, saat ini, dan di masa yang akan datang.
Editor: Saiful Maarif