Kutahu yang Kau Mau (menghargai setiap potensi istimewa siswa)

Illustrasi Foto (Direktorat PAI Kemenag)


Oleh: Epon Maptuhah, M.Ag


(Guru PAI SMPN 2 Garut)

I

Suatu hari anak sulung saya pulang sekolah dalam kondisi ibarat sore mendung tanpa semburat jingga matahari senja. Padahal, wajahnya begitu berseri ketika berangkat paginya, sangat ceria secerah  mentari pagi. Kini, wajahnya muram dan sunyi tanpa senyum atau nyanyian kecil soundtrack  anime kesukaannya. Setelah mengucapkan salam dengan volume suara paling minimal, dia buru-buru meniti anak tangga menuju kamarnya. Dengan kepala penuh tanya saya diam-diam mengikutinya dari belakang. Pintu kamarnya terbuka sedikit dan tampak dia menelungkupkan badan di atas tempat tidur, isaknya terdengar samar-samar.

Menggambar adalah hobi beratnya. Di rumah pun tidak ada sudut dan ruang yang kosong tanpa coretan tangannya, kecuali ruang tamu. Sengaja kami biarkan dia seperti itu dari kecil karena kami tahu hidupnya adalah menggambar. Untuk hobinya tersebut, tak ada seorang pun yang bisa menghalangi atau melarangnya.

Namun pada hari itu hatinya sedang luluh lantak. Hari itu menjadi penanda jiwanya sedang runtuh. Seorang guru Matematika di sekolahnya telah menegurnya di hadapan teman-temannya, hanya karena dia “tertangkap basah” sedang menggambar karakter anime kesukaannya. Padahal, tugas matematikanya sudah selesai dia kerjakan. “Bukankah tugas matematikaku udah selesai? Ngga bikin keributan atau menyontek pekerjaan teman? Kenapa aku dimarahi di depan teman-teman??”

Air matanya tumpah ruah

Sayapun memeluknya

Air matanya merembes jatuh, menelusup jauh ke dalam lubuk hati saya

II

Saya guru PAI di sebuah SMP Negeri di Garut. Suatu ketika ada seorang guru perempuan menangis di mejanya dan menyampaikan bahwa dia baru pertama kali dibuat sakit hati oleh para siswa seumur hidup dia mengajar.  Guru Matematika tersebut mengajukan permohonan sementara waktu untuk tidak mengajar di kelas dimaksud. Sungguh penuh drama. Saya jadi penasaran, apa yang membuat guru Matematika tersebut menangis penuh emosi seperti perasaan baru saja kehilangan sesuatu yang begitu berharga dalam hidupnya.

Ya, kelas 8D! di sana berkumpul “para pembuat keributan”, para renegades, weirdoes, rebels, dan semacamnya. Rebels itu jumlahnya bukan hanya satu-dua, tetapi hampir 9 orang. Rupanya, nalar pembuat keributan itu serupa virus yang dengan cepat menyebar  dan memiliki “penyakit bawaan” gampang sekali tertular. Kelas tersebut sudah dicap sebagai kelas paling bobrok. Anehnya, penghuni kelaspun seakan menikmatinya dan dengan bangga menyebut kelasnya dengan Disturb Class. Ibu wali kelaspun sudah angkat tangan. Saya yakin, mereka sedang menikmati guilty pleasure atas penobatan mereka sebagai pembuat rusuh.

Tiba giliran saya masuk ke kelas “panas” tersebut di awal tahun ajaran baru, karena dua minggu sebelumnya saya sakit. Kelas istimewa ini kebetulan memang ruangannya terpisah dengan kelas lainnya.  Posisinya di dekat kantin dan gedung serbaguna. Ruangan itu bekas laboratorium komputer. Dari luar sudah terdengar “kemeriahan” di dalamnya. Bunyi meja dan ember dipukul-pukul,  botol bekas air mineral ditendang-tendang ke dinding, dan teriakan para siswi meminta jangan ribut.

Ketika membuka pintu, saya disambut dengan kertas-kertas dan bungkus makanan yang berserakan di lantai dan ceceran minuman tumpah. Olalaaa... permen karet bertebaran menghiasi langit-langit kelas. Ibarat makhluk halus, saya berdiri di depan kelas  tanpa terlihat sama sekali oleh mereka. Mereka asik dengan ceritanya, asik dengan cemilannya, asyik dengan candaan yang diamini oleh teman-temannya dengan celetukan dan tawanya.

Di dalam kelas hanya ada murid perempuan yang bertumpu, ngumpul di dua meja belakang nonton youtube di HP, satu grup lagi sedang meredakan temannya yang menangis entah diputusin atau dibully teman-teman kelasnya, dan beberapa murid laki-laki yang sedang “konser”.

Setelah beberapa saat, saya dapat menguasai diri dengan tetap tersenyum dan meredam gejolak untuk meninggalkan kelas tersebut. Saya berjalan berkeliling dan mempersilakan para siswa untuk melanjutkan makan minumnya, karena mubadzir kalau tidak dihabiskan. Saya meminta mereka untuk saling berbagi makanan dan menyantapnya sambil duduk sebagaimana perintah Rasulullah SAW.

Saya minta izin ke kantin dulu dan akhirnya makan bersama dan membagikan beberapa biskuit permen coklat kepada siswa.

Setelah selesai, saya bertanya, “setelah makan, mau ngga kita menyaksikan konser atau nobar?” Semua menjawab setuju, tapi dengan catatan: kelas dibersihkan, meja kursi dirapikan, permen karet dibersihkan juga.

Selanjutnya adalah beres-beres kelas. Saya setel MP3 dari hp dan mengabulkan  request Army di kelas itu fire nya BTS.

ok bungkus!

Semua bergerak, semua ceria, dan semua belajar hari itu. Rupanya dari pagi sampai jam istirahat menurut mereka tidak ada satupun guru yang masuk ke kelas. Mereka bete dan terjadilah beragam keriuhan itu. Kelas berlanjut dengan keriuhan yang lebih tertib karena kita bermain gitar dan bernyanyi bersama dengan lagu lagu indie yg mereka suka.

Di akhir pertemuan saya sampaikan permohonan untuk mengganti DISTURB CLASS menjadi DYNAMIC CLASS sesuai jiwa mereka yang dinamis, haus perubahan, dan selalu ingin berbeda. Saya sampaikan, dalam Islam nama adalah doa. Mereka setuju. Pasti setuju karena aku tahu apa yang mereka mau.

III

Benar adanya, seperti amanah dalam konsep merdeka belajar yang merupakan buah pemikiran sang tokoh pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara. Setiap anak memiliki kodrat alam dan kodrat zaman, maka hargai potensi mereka masing masing. Tugas guru adalah  mengarahkan dan membimbing supaya potensi positif tersebut bisa berkembang. Guru pun harus memiliki kepekaan serta kemampuan mengikuti zaman, mengikuti trend anak-anak sekarang yang sering kita sebut sebagai generasi milenial. Itu semua perlu kita lakukan agar kehadiran kita bisa diterima. Setelah diterima, sangat mudah bagi kita untuk melakukan proses pembelajaran selanjutnya. Mereka memiliki beragam kecerdasan sebagaimana kita, gurunya. Bukankah tidak semua dari kita jago Matematika dan Fisika atau fasih berdialektika?

Dalam salah satu materi pelajaran PAI terdapat pembahasan tentang jujur dan adil. Untuk materi ini, saya memberi stimulus dengan tayangan berita berita tentang korupsi di Indonesia serta kasus kasus hukum. Mereka diminta untuk berfikir keras, menganalisis kenapa korupsi bisa terjadi serta ketidakadilan merajalela. Mereka jadi tidak memiliki waktu untuk melakukan sesuatu yang unfaedah di kelas. Terlebih, pada tugas berikutnya mereka harus mempresentasikan tentang jujur dan adil dalam bentuk yang berbeda-beda sesuai minat dan potensi per kelompok. Tugas tersebut boleh dalam bentuk puisi, pantun, nge-rap,  drama, stand-up comedy, musik, bikin lagu, gambar, tulisan, dll. Secara personal, saya merasakan betul manfaat dan dampak pendekatan metode ini.

Demikianlah kasus yang menimpa anak saya tidak ingin terulang dan dialami anak anak lain lagi.  Saya boleh berbangga, begitu juga anak saya. Dengan support positif yang diberikan, anak saya baru saja wisuda S1 di FSRD ITB dengan nilai cum laude dan dapat beasiswa S2 di kampus dan jurusan sama, serta menjadi asisten dosen.
Saya membayangkan, seandainya guru-guru di Indonesia seperti guru Matematika anak saya, betapa banyak anak-anak yang akan patah hati. Sebaliknya, betapa akan sangat banyak potensi-potensi tergali, dan para siswa akan dengan bahagia mengikuti fase demi fase proses pembelajaran, seandainya mereka diakui, karyanya diapresiasi. Mereka akan lahir menjadi generasi yang percaya diri, mampu berkompetisi secara global.

Editor: Saiful Maarif

Penyiap Bahan : Arief Hilaluzzaman, Yana Cahyana



Terkait