Menulis, Haruskah Dipaksa?

Illustrasi Foto (Direktorat PAI Kemenag)









Karina, M.Pd (Pengembang Teknologi Pembelajaran Bidang Pakis Kanwil Kemenag Kalimantan Barat)

Kemajuan teknologi memudahkan manusia dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, misalnya membuat pekerjaan menjadi lebih mudah, murah, dan cepat. Kemajuan teknologi juga membuat manusia semakin “dimanjakan” dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan. Cukup menggerakkan jemari, sebuah pekerjaan dapat diselesaikan, bahkan saat ini hanya dengan perintah suara saja.

Evolusi dan dinamika teknologi informasi seperti tersebut di atas tentu saja menjadi sebuah tantangan tersendiri yang mau tidak mau harus dihadapi. Pasalnya, teknologi telah menjadi “teman terdekat” yang menghiasi aktivitas dan rutinitas. Namun demikian, berbagai dukungan dan kemudahan yang diberikan oleh teknologi tersebut bukan tidak mengandung masalah.

Kemudahan yang ditawarkan ini, tanpa disadari secara langsung maupun tidak, membuat manusia terbuai dan menjadikan pribadi yang manja. Kondisi ini pula yang akhirnya membuat seseorang menjadi malas menulis, karena ada kemudahan yang ditawarkan oleh kemajuan teknologi. Hanya untuk berkirim pesan lewat aplikasi messaging, misalnya, saat ini sudah terdapat fasilitas menu voice note. Dengannya, lagi-lagi aktivitas menulis dapat digantikan suara saja.

Hal-hal seperti ini, diakui atau tidak, perlahan tapi pasti dapat membuat budaya menulis hilang. Dalam kondisi dimanjakan dan dimudahkan oleh teknologi, menulis menjadi sebuah inisiatif yang memberatkan. Bukannya menjadi momen yang mengasyikkan, menulis justru menjadi beban dan mengundang kemalasan karena hadirnya kemudahan yang diberikan teknologi.

Menulis tidak dapat selesai dengan serta merta seperti bim salabim atau ilmu sulap, melainkan harus melalui proses. Menulis secara sadar dan suka rela tentunya tidaklah mudah untuk terwujud.

Memaksa Diri

Mengatasi kendala dan kondisi negatif tersebut, hal yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan “pemaksaan diri” untuk menulis. Memaksa diri untuk menulis apapun yang menjadi perhatian dan fokus pikiran akan membentu menungkan gagasan ke dalam bentuk tulisan. Pendekatan ini harus diyakini akan membangun dan menjadi sebuah kebiasaan.

Selain memaksa diri sendiri untuk menulis, pendekatan lain yang bisa ditempuh, masih dalam konteks memaksa diri, adalah dengan dengan cara mengikuti tantangan menulis atau menjadi anggota komunitas menulis. Keikutsertaan dalam kelas dan kelompok menulis akan membantu keberanian dan keyakinan diri dalam aktivitas menulis. Dengan berkelompok, upaya menulis menjadi sebuah ajang curah pendapat, upaya saling mendukung, serta menyemangati sesame anggota.

Memprioritaskan kebiasaan menulis jelas membutuh paksaan serta dorongan yang besar, dan pastinya tidak hanya sebatas menunggu keinginan untuk menulis datang dengan sendirinya. Hal lainnya yang menjadi bagian tersulit dalam upaya menulis adalah memotivasi diri sendiri untuk memulai menulis. Dalam kaitan hal ini, penting untuk dipahami agar kita jangan bicara dulu seberapa bagus kualitas tulisan yang akan ditulis, seberapa banyak kata-kata yang terangkai dalam tulisan nantinya, dan berbagai pertanyaan lainnya yang akan membuat kita memutuskan nanti dulu menulis.

Dengan demikian, dalam pandangan saya, menulis sepenuhnya tentang memulai dan sikap untuk mengalahkan rasa tidak mau, karena sesungguhnya esensi permasalahan bukan pada rasa tidak bisa. Memulai menulis yang diawali dengan paksaan tentunya akan menghadirkan rasa berat dan terbebani di awal, tetapi ini jauh lebih baik daripada menunggu kesadaran dan kemauan datang sendiri yang tidak tahu kapan ini terjadi.

Awal dari menulis yang dipaksa harus dengan kondisi yang mampu membangkitkan kemauan menulis. Dalam upaya ini, saat kita menulis, kita perlu mengusahakan tidak sedang berada di lingkungan yang membuat rasa tidak nyaman, bosan, dan jenuh. Hal ini menjadi sangat penting, karena menulis jelas melibatkan suasana hati.

Menciptakan kondisi yang menyenangkan menjadi sesuatu yang perlu dipikirkan. Menulis tidak hanya pada layar dan tombol keyboard di ruangan kerja atau kantor saja, melainkan juga dapat memerlukan kondisi yang mampu membangkitkan keinginan dan motivasi untuk menulis.

Suasana Positif

Memulai menciptakan kebiasaan menulis dengan baik dapat dimulai dengan upaya menciptakan suasana hati yang positif, bersemangat, tenang, dan damai. Misalnya, membawa laptop ke taman, ditemani pemandangan tanaman hijau atau penuh warna. Hal demikian tentunya mampu membangkitkan semangat untuk memulai menulis. Membiarkan suasana hati bekerja membuat tulisan akan mengalir begitu saja sehingga mampu melahirkan tulisan atau karya.

Tentu saja ini kondisi yang ideal. Untuk di awal, selain niat dan kemauan berujung paksaan, mulailah dengan membuka laptop atau komputer atau tablet, buka lembar kerja dan tulislah apa yang mau ditulis. Tulis saja dan pernah merasa takut dengan kesalahan yang akan terjadi. Jangan lupa, nantinya masih ada proses untuk mengoreksi tulisan kita sendiri. Jadi, jangan mengoreksinya di awal menulis. Lakukan itu setelah tulisan sudah terlihat sebagai “bangunan” utuh.

Suasana terbaik dapat dikondisikan oleh mindset kita sendiri. Di kantor, siapkan laptop pada posisi seharusnya, ditemani segelas teh hangat dengan aroma kayu manis yang rasanya dapat membuat menulis dimulai dengan rasa nyaman dan menyenangkan.

Meski demikian, saat susasana hati sedang senang, bukan berarti tulisan kita berisikan sesuatu yang menyenangkan saja, melainkan apa saja yang mampu kita tuangkan dalam bentuk tulisan. Hal ini tentunya mampu mengubah proses menulis, yang awalnya terpaksa, menjadi biasa serta mampu menghadirkan rasa bahagia karena dapat menyampaikan isi hati dan memberikan manfaat bagi orang lain. Selamat mencoba.

Editor: Saiful Maarif




Terkait