Pada Mulanya adalah Sebuah Buku

Illustrasi Foto (Direktorat PAI Kemenag)

Dalam Man`s Search for Meaning, Viktor Frankl menjelaskan tentang makna psikiatri "delusion of reprieve" (mengkhayalkan penangguhan hukuman mati) saat menggambarkan keputusasaan para tahanan Nazi di Kamp Auschwitz. Mereka mengkhayal adanya momen yang bisa menangguhkan kematian mereka di kamar gas beracun atau kamar penyiksaan lain, bahkan kalau mungkin malah membebaskan mereka dari cengkeraman Nazi. Frankl, yang juga mengalami bagaimana kondisi di Auschwitz selaku tahanan, seperti menemukan jalan terang dalam gelap (neraka) Auschwitz saat gambarannya tentang kamar gas beracun dan khayalan penangguhan hukuman mati bertemu dalam kutipannya dari filosof eksistensialis Friedrich Nietzche: dia yang punya alasan mengapa harus hidup akan mampu menanggung segala bentuk bagaimana caranya hidup. Pada akhirnya, Frankl bebas dari tahanan Auschwitz, menulis banyak buku best seller dunia dan publik menilai buku Mans Search for Meaning sebagai magnum opusnya. Saga tentang perjuangan hidup dan bagaimana menaklukkannya tentu saja bukan hanya milik Frankl.

Pada Olimpiade Roma tahun 1960, Wilma Rudolph memperoleh Medali Emas dan memecahkan Rekor Dunia pada cabang lari cepat 100, 200, dan estafet 400 meter. Pelari dari Amerika Serikat ini menyisihkan pelari-pelari cepat lain dari berbagai negara. Mendapat Medali Emas dan memecahkan Rekor Dunia dalam ajang Olimpiade tentu saja momen yang sangat gemilang baik bagi Wilma Rudolph maupun negara yang dibelanya. Namun yang lebih istimewa, jauh hari sebelumnya tak ada orang yang memprediksi kemampuannya untuk bisa berlari cepat. Jangankan berlari, untuk bergerakpun tidak mudah baginya. Benar, Wilma Rudolph pada mulanya adalah penderita kelumpuhan. Derita tersebut membuat orang tidak punya keyakinan sama sekali bahwa kelak dia akan menjadi pelari cepat yang berlaga dan mendapatkan medali emas di ajang sebesar Olimpiade. Namun cerita berubah saat tekad dan keyakinan Wilma untuk mengejar mimpi menjadi pelari cepat membuatnya menemukan cara dan jalan agar menjadi atlet lari yang tangguh dan dikenang sepanjang masa.

Cerita Wilma seperti sebuah epos dalam hal tertentu. Mengenangnya menjadi semacam energi tersendiri untuk menaklukkan kerasnya dunia, menggapai mimpi setinggi derajat yang mampu dilukiskan. Hingga suatu malam seorang Ibu nun di Medan membacakan cerita Wilma Rudolph kepada seorang bocah. Dibacanya pelan dan runut agar pesan pentingnya tersampaikan dengan baik. "Wilma saja bisa menjadi juara dunia atletik," katanya pelan, "kenapa kau tidak bisa seperti dia?" pungkasnya. Sepintas, ucapannya seperti menghardik meski lirih. Tapi rasanya, itu bukan hardikan karena disampaikan seorang ibu pada anaknya yang mengalami kelumpuhan pada tangan kanannya. Kelak kemudian hari orang mengenal anak ini sebagai Syamsul Anwar Harahap, petinju legendaris Indonesia. Prestasinya sampai hari ini terus dikenang, diantaranya dikenal sebagai petinju yang pernah mengalahkan Thomas Hearns, Juara Dunia Tinju Kelas Berat dari AS.

Pada Frankl, Wilma, dan Syamsul Anwar hidup bisa jadi sebuah lanskap yang penuh warna dan diakhiri dengan momen yang selalu dikenang orang. Bagi Syamsul Anwar sebagaimana disampaikannya dalam buku kumpulan tulisan Bukuku Kakiku (2004), momen cerita yang dibacakan Ibunya sewaktu kecil memiliki pengaruh besar buatnya. Syamsul pada akhirnya meyakini bahwa motivasi yang disampaikan Ibunya lewat cerita Wilma Rudolph telah menggerakkan seluruh potensi kedirian dan kemanusiaannya untuk melampaui sesuatu yang sepertinya tidak mungkin dalam ukuran kelaziman. Dia yang semula lumpuh tangan kanannya bisa berkembang menjadi petinju legendaris Indonesia.

Dalam penuturannya, Syamsul bukan hanya menyadari makna penting motivasi ibunya, tapi juga bagaimana muasal motivasi itu berada; buku. Buku telah membentuknya sebagai pribadi yang bukan hanya kaya wawasan, tapi juga membuatnya memiliki "olah raga" yang tidak kalah penting dari dunia tinju yang digelutinya. Apa yang diceritakan oleh Ibunya begitu kuat membekas dalam memorinya hingga akhir hayat. Berbagai medium cerita, entah buku atau majalah, telah membentuknya sebagai pribadi yang selalu haus akan informasi dan pengetahuan. Poin penting dari apa yang dirasakan Syamsul Anwar dan banyak pecinta buku lainnya mengenai buku yang membentuk dan mewarnai hidupnya barangkali adalah bahwa buku bukan hanya penting untuk membentuk identitas diri, tapi juga mampu mendorong orang untuk meningkatkan kualitas kemanusiaanya. Oleh karenanya, buku memiliki peran dan fungsi yang tak tergantikan, bahkan ketika dunia begitu mudah dilipat dan ditekuk dalam bentuk bangun pengetahuan dan peradaban digital yang begitu masif dan memuja keserbatahuan sebagaimana yang dikhawatirkan oleh Tom Wheeler (2019).

Buku Dan Hal-hal Yang Tak Kunjung Selesai

Ide mengenai buku adalah ide tentang entitas yang membayangi dinamika zaman, keberadaannya senantiasa menjadi bagian penting dari perkembangan itu sendiri dan kerap menampilkan drama yang sangat mendalam. Gempita buku setidaknya dimulai pada setiap 23 April yang ditandai sebagai Hari Buku Dunia, dikaitkan dengan meninggalnya William Shakespeare yang dinilai memilki jasa besar dalam kancah tulis menulis dengan berbagai karyanya.

Di pihak lain, pada setiap Bulan Oktober, publik merayakan Pekan Buku Terlarang (PBT). PBT diadakan untuk merespon larangan buku di berbagai belahan dunia. Pelarangan bisa dilakukan dan bersumber dari pemerintah, masyarakat, dan kelompok masyarakat. PBT mulanya berawal dari Amerika pada tahun 1982. Berbagai alasan melandasi perlarangan buku tersebut, seperti alasan ideologis, rasial, ajakan pemberontakan, dan lain-lain.

Pelarangan buku sepertinya terkait dengan kebencian terhadap pengetahuan, dan sejarah mencatat dengan baik mengenai hal ini. Irak sebagai taman pengetahuan Islam terbesar dunia pada masanya, dengan dukungan fasilitas perpustakaan dan akademisi masyhur beserta karya-karya penting mereka, tak ubahnya seperti mengalami kutukan akan kebencian terhadap pengetahuan ini. Pada Abad ke 12, tentara Mongol menginvasi Irak yang saat itu merupakan pusat peradaban Islam. Dengan kekejaman yang tak terperi, mereka hancurkan semua yang terlihat, termasuk Perpustakaan Agung Bahgdad. Sejarah mencatat, Sungai Tigris dikatakan sampai berwarna hitam karena begitu banyaknya buku yang dihancurkan dan dibuang didalamnya. Berabad kemudian, sebagaimana yang disaksikan Fernando Baez, saat invasi AS dan sekutunya ke Irak pada tahun 2003, buku dan berbagai peradaban penting di Irak kembali dihancurkan secara membabi buta. Tragedi buku dan "kutukan" sejarah terhadapnya bukan hanya dalam skala masif dan tak terperi sebagaimana yang diaalami Irak. Buku kadang juga dilarang, dan tentu saja adalah sebuah tragedi, karena alasan yang terasa sepele dan elementer. Karya George Orwell, Animal Farm, dilarang di berbagai negara Timur Tengah karena dinilai bisa mempengaruhi keislaman publik dengan adanya penokohan hewan yang dinajiskan dalam Islam. Namun dibalik itu, tedapat dugaan bahwa alasan sesungguhnya dari pelarangan tersebut adalah ketakutan penguasa akan pesan dasar dari animal farm yang menyuarakan kesadaran kelas dalam struktur masyarakat, sesuatu yang bisa menimbulkan masalah dalam budaya atau tata pemerintahan di Timur Tengah.

Terkait pelarangan ini, yang juga sering jadi masalah adalah ketika buku hanya dinilai dari sampul atau judulnya saja, tanpa benar-benar membacanya secara utuh. Baru-baru ini ditemui pelarangan beredarnya buku Franz Magnis Suseno tentang Pemikiran Karl Marx, Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Buku ini memang memuat pemikiran-pemikiran Karl Marx tentang teori kelas, kapitalisme dan sosialisme dan berbagai hal terkait lainnya. Magniz juga memaparkan betapa ide komunisme sudah tidak lagi laku dan ditinggalkan para penganutnya karena tidak lagi kompatibel dengan perkembangan zaman. Tapi beberapa pihak menilai lain tentang buku ini. Marx adalah Komunis, dan dengan demikian buku tersebut harus dilarang.

Ekstremitas seperti ini tentu saja bisa sangat rawan, karena pendekatannya hanya berdasar emosi massa saja, dan bisa dilakukan siapapun untuk pihak manapun. Jika di satu pihak buku, sebagaimana yang diamini banyak pihak, diyakini menjadi jendela pengetahuan yang tak berbatas, maka pelarangan dan intimidasi terhadap buku di lain pihak bisa menjadi persoalan yang tidak akan kunjung selesai.
Wallahu alam

Saiful Maarif
(Bekerja pada Subdit PAI pada SMP)



Terkait