Oleh : Riandari Widiastuti
(Guru PAI SLB Negeri 1 Bantul Yogyakarta dan
Anggota MGMP PAI SLB DIY)
Menurut Undang Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dapat dimaknai sebagai anak yang --karena kondisi fisik, emosional, mental, sosial, dan atau memiliki kecerdasan serta bakat istimewa-- memerlukan bantuan khusus dalam pembelajaran.
Karena keadaan tersebut, pendidikan kepada ABK harus disesuaikan dengan keadaan peserta didiknya. Artinya, layanan pendidikan yang diberikan harus disertai dengan upaya memperhatikan keadaan peserta didik atau dengan memperhatikan kekhususan peserta didik.
Pendidikan Agama merupakan salah satu mata pelajaran wajib yang ada dalam pendidikan formal sesuai dengan agama yang dianut peserta didik. Dalam kaitan ini, Pendidikan Agama Islam bagi ABK hendaknya dilaksanakan dengan memperhatikan kekhususan peserta didik. Sudah selayaknya, para pengampu Pendidikan Agama Islam bagi ABK mempunyai bekal tentang pendidikan khusus dan layanan khusus. Dengan kesiapan seperti ini, diharapkan pelaksanaan Pendidikan Agama Islam tersebut dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan target yang dicanangkan.
Pada dasarnya, kita dengan mudah menemukan pesan penting perlunya penyelenggaraan Pendidikan Agama Islam bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Setidaknya, kita bisa mengambil pelajaran dari kisah yang terdapat dalam Al Qura’an Surat Abasa. Dalam kisah tersebut diceritakan bahwa Rasulullah mendapatkan teguran karena tidak memperhatikan seorang penyandang tunanetra yang berkeinginan belajar. Peringatan kepada Rasulullah tersebut dapat dimaknai bahwa Allah menempatkan pribadi yang memiliki ketunaan sebagai pihak yang memiliki hak yang sama dalam proses pendidikan dan pembelajaran. Oleh karena itu, dengan menjadikan kisah ini sebagai ibrah, mata pendidikan Agama Islam bagi ABK sudah seharusnya dilaksanakan dengan sebaik baiknya dan disesuaikan dengan keadaan peserta didik.
Realitas Pendidikan PAI bagi ABK
Namun demikian, pada kenyataannya banyak sekolah yang menyelenggarakan pendidikan khusus dan layanan khusus (SLB) tidak mempunyai guru Pendidikan Agama Islam yang dididik secara khusus untuk menangani anak berkebutuhan khusus. Artinya, pengampu Pendidikan Agama Islam banyak yang tidak mempunyai pendidikan khusus tentang ABK. Dalam prakteknya, pendidikan agama diberikan oleh lulusan jurusan PAI atau yang dulu disebut Pendidikan Guru Agama (PGA).
Akibatnya, mereka mengajar sambil belajar sendiri atau melalui organisasi di lingkungannya untuk menambah pengetahuan tentang pendidikan khusus dan layanan khusus. Kondisi lain yang serupa terlihat dari kondisi dimana para guru mempunyai pemahaman pendidikan khusus namun hanya satu bidang tertentu sesuai yang diampu, misal hanya bisa mengajar tunadaksa atau tunagrahita saja.
Padahal, pada kenyataannya Anak Berkebutuhan Khusus sangat beragam, mulai dari tunanetra, tunarungu wicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, autis, tunaganda. Disamping itu, terdapat juga anak dengan kemampuan diatas rata-rata (gifted) atau genius. Dalam prakteknya, seringkali pelaksanaan pendidikan dilaksanakan secara gabungan dari berbagai kekhususan, karena terbatasnya tenaga pengajar. Pada kondisi demikian, mau tidak mau, dalam satu rombongn belajar terdapat siswa dengan berbagai kekhususan (dicampur).
Idealnya, pengajar Pendidikan Agama Islam di sekolah khusus seharusnya juga memahami Anak Berkebutuhan Khusus secara menyeluruh. Dalam pemahaman ini, eksplisit terdapat pentingnya pengetahuan atau pemahaman tentang semua yang terkait dengan kekhususan. Kekhususan ini terutama sekali menyangkut kondisi dan tantangan ketunaan siswa di satu sisi dan aspek pemahaman serta penerapan PAI yang didalamnya mengandung unsur praktek pada sisi lain. Pada kondisi dan posisi demikian, kekhususan pendidikan PAI bagi ABK dan tantangan yang menyertai membutuhkan ketersediaan guru PAI pada SLB yang mumpuni secara kapasitas dan kuantitas.
Namun, pada kenyataannya Guru Agama Islam yang ada di sekolah khusus masih sangat terbatas. Kondisi demikian mudah didapatkan secara statistik yang dibuat oleh berbagai instansi terkait. Jika dilihat lebih detil, statistik tersebut akan menunjukkan realitas sebagain besar dari mereka yang masih menjadi tenaga honorer dan kebanyakan merupakan lulusan PAI murni. Memang ada beberapa dari mereka yang pernah mendapatkan sertifikasi Guru Agama Islam ABK, yaitu program belajar tentang ABK bagi lulusan PAI yang diselenggarakan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Program kelas khusus ini telah menghasilkan angkatan pertama tahun 1998-1999 yang dilanjutkan beberapa angkatan setelahnya dengan konsentrasi terbatas pada kekhususan tunanetra dan tunarungu wicara. Sayangnya, jumlah mereka sangat terbatas.
Diakui dan dirasakan bersama, program yang dilaksanakan UIN tersebut sangat membantu kebutuhan di lapangan dalam proses pengajaran Pendidikan Agama Islam bagi siswa berkebutuhan khusus. Namun demikian, program yang sangat membantu dan menjadi solusi tersebut tidak berumur panjang dan tidak berlanjut hingga kini.
Harapan
Saya secara personal adalah lulusan program kelas khusus yang diselenggarakan UIN Sunan Kalijaga bersama beberapa alumni dan kolega lainnya. Harapan kami selaku penerima program sertifikasi guru Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Luar biasa angkatan pertama adalah agar program tersebut bisa dilaksanakan lagi guna memenuhi kebutuhan Guru Agama Islam di sekolah khusus dan layanan khusus.
Kepada para pemangku kebijakan, hendaknya program kelas khusus pendidikan Guru Agama bagi Sekolah Luar Biasa atau kebijakan serupa dapat diselenggarakan dengan pengembangan dan penyempurnaan sesuai dengan tantangan dan perkembangan pendidikan ABK terkini.
Dengan langkah demikian, diharapkan pelaksanaan Pendidikan Agama Islam di sekolah khusus dan layanan khusus dapat terselenggara dengan baik dan profesional. Selain itu sekolah penyelenggara pendidikan khusus dan layanan khusus mendapatkan guru Pendidikan Agama Islam dari pemerintah, hal mana menjadi langkah penguat kehadiran negara pada pendidikan Agama Islam bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).