Ustaz Google dalam Genggaman Anak-Anak Kita: Media Baru Pendidikan Agama Islam?

Illustrasi Foto (Direktorat PAI Kemenag)

Dewasa ini, internet demikian dekat dan akrab dengan anak-anak. Pada hampir semua aktivitas yang dijalankan oleh mereka, internet sangat mewarnai jika tidak bisa dikatakan dominan. Mereka memerlukan internet saat mengerjakan tugas belajar hingga berinteraksi dengan teman-teman mereka. Di tengah-tengah itu mereka juga menjadikan internet sebagai sarana untuk mencari dan mendapatkan informasi agama Islam. Jadilah internet menjadi sarana untuk mendapatkan informasi pendidikan agama Islam yang cepat dan seketika; mesin pencari informasi Google telah berubah layaknya "ustaz". Anak-anak kita seperti mendapati ruang dialog imajiner yang mereka kembangkan sendiri di ruang privat mereka. Banyak pertanyaan tentang agama Islam yang mereka temukan yang bisa berasal dari interaksi mereka di kelas atau memang berasal dari keingintahuan mereka. Atas pertanyaan-pertanyaan tersebut mereka menemukan jawaban yang sangat cepat dan seketika dari mesin pencari informasi ternama hingga saat ini: Google.

Kecenderungan anak-anak kita untuk menjadikan internet sebagai sumber rujukan informasi agama Islam setidaknya terlihat dari beberapa temuan penting. Publikasi dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta berdasarkan survei yang dilakukan menunjukkan bahwa jumlah siswa/mahasiswa yang mencari sumber pengetahuan agama melalui Internet dan media sosial sekitar 50,89 persen, yang mencari sumber pengetahuan agama melalui buku sekitar 48,57 dan sisanya mencari dari sumber lain (PPIM, 2017). Data ini menunjukkan betapa siswa dan mahasiswa kita sangat bergantung dengan relasi internet untuk memenuhi kebutuhan informasi keagamaan mereka. Data ini sejalan dengan informasi teknis yang dikeluarkan APJII (Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet di Indonesia) tahun 2016 mengenai populasi pengguna internet. APJII mencatat bahwa pengguna internet pada tahun 2016 mencapai 132,7 juta dari 256,2 juta penduduk keseluruhan. Itu artinya separuh lebih masyarakat Indonesia telah terkoneksi dengan internet. Dengan keseluruhan jumlah penduduk pada tahun 2016, jumlah pengguna tersebut bukanlah angka yang sangat dominan. Namun sebagai sebuah potensi berkembang, angka itu terasa sangat signifikan.

Intensitas siswa-mahasiswa yang demikian dekat dengan internet dalam keseharian mereka terlihat dari temuan lebih lain dalam survei tersebut. PPIM mencatat bahwa sekitar 61,05 persen siswa-mahasiswa setiap hari menggunakan Internet dalam mencari informasi agama. Sekitar 29,27 persen melakukannya setiap saat, 32,27 persen sebanyak 2-3 kali seminggu, dan 21,17 persen sekali seminggu (PPIM, 2017). Dengan tingkat keingintahuan yang tinggi sebagai bagian dari, katakanlah, perkembangan psikologi mereka, frekuensi upaya pencarian informasi ini dapat dibilang sangat signifikan. Intensitas aktivitas pencarian informasi ini sangat mungkin berpengaruh terhadap pemahaman dan cara pandang mereka dalam beragama. Apa yang semula online pada akhirnya akan menjadi offline; bahan dasar bacaan yang diserap akan menjadi laku tindakan beragama, persis sebagaimana penjelasan mengenai religion online dan online religion. Pada titik ini, internet dipahami sebagai sarana penting pencarian individu terhadap pertanyaan dan keingintahuan tentang agama yang akhirnya berdampak terhadap ritus keagamaan sesungguhnya.

Mencari informasi agama Islam di internet tentu saja dibutuhkan untuk memperkaya wawasan, terlebih jika terkait dengan kepentingan pembelajaran di kelas atau kampus. Masalahnya, internet dan informasi yang tersedia di dalamnya adalah selayaknya hutan belantara tanpa peta panduan. Dibutuhkan kearifan dan kontrol diri yang memadai untuk masuk dalam belantara tersebut. Bagian penting dari karifan dan kontrol diri ini adalah kesadaran untuk tidak menjadikan informasi agama islam yang beredar di internet sebagai sesuatu yang final dan satu-satunya; masih ada ustaz sesungguhnya dalam dunia nyata dan tempat bertanya dan berinteraksi dengan tepat. Dalam perspektif psikologi Islam, anak-anak kita dalam rentang usia yang tengah menjadi siswa/mahasiswa adalah mereka yang masih terlibat dalam upaya pencarian jati diri yang masih lekat dengan sikap yang cenderung tidak percaya diri/mutasyaim, bukan mereka yang penuh percaya diri/mutafail. Disinilah peran ustaz sesungguhnya, keluarga, dan khususnya orang tua sangat diperlukan karena aktivitas dan intensitas yang demikian tinggi dapat menjerumuskan anak-anak dalam informasi yang tidak tepat, tidak mereka ketahui, dan tidak mereka kuasai.

Dalam berbagai rilis yang telah diketahui luas, kita tahu bahwa salah satu sumber radikalisme dan terorisme adalah informasi yang menyesatkan di internet terkait konsep jihad dan hal-hal terkait. Internet juga menyediakan akses yang demikian luas untuk mengetahui bagaimana tindakan-tindakan terorisme diwujudkan. Jika untuk mengetahui dan mendapatkan informasi tersebut "hanya" membutuhkan sarana gawai yang memungkinkan untuk sampai kepada informasi tersebut, maka sesungguhnya akses dan pintu pada pemahaman radikalisme dan terorisme itu sangat dekat dan tentu saja mencemaskan.

Internet dan dunia digital secara umum adalah sebuah keniscayaan perkembangan zaman. Lima-sepuluh tahun yang lalu mungkin belum terbayang dan dirasakan adanya sebuah kelas dan ruang belajar secanggih sekarang. Mudah untuk saat ini bagi siswa dan guru untuk belajar geografi, misalnya, tentang situs Palmyra di Syria dalam kondisi terkini dan ditayangkan real time dengan dukungan multimedia sedemikian rupa sehingga bahan bacaan riil di buku sangat mungkin terasa tertinggal secara visual. Gambaran bahwa internet di satu sisi bisa mendorong tindakan radikalisme dan terorisme tapi di sisi lain bisa menginspirasi kelas dan ruang belajar seperti diatas menegaskan bahwa internet memang seperti pisau bermata dua.

Dalam relasi internet dan pembelajaran agama serta bagaimana peran penting orang tua dan pihak-pihak terkait ini setidaknya membutuhkan beberapa hal; pertama, perlunya penguatan literasi digital keluarga. Keluarga sebagai bagian inti dari struktur masyarakat mau tidak mau perlu menjadi filter pertama dalam arus deras teknologi informasi. Keluarga harus mampu menanamkan nilai-nilai mulia sekaligus melindungi anak-anak dari hal-hal negatif terkait internet dan dunia digital. Dalam kaitan ini, keluarga perlu mengetahui dan beradaptasi dengan perkembangan yang ada, bukan semata-mata memberi larangan dan pengecualian. Upaya untuk mengetahui dan beradaptasi ini akan memberi kemungkinan yang lebih besar untuk menemukan sisi positif dari internet dan dunia digital secara umum. Secara global, upaya seperti ini sejalan dengan Konvensi PBB di Praha tahun 2003 tentang Kecakapan Literasi Dasar dan Kecakapan Perpustakaan. Mengetahui dan beradaptasi dengan perkembangan yang ada merupakan kunci bagi masyarakat dalam menghadapi derasnya arus informasi teknologi. Lima komponen yang esensial dari literasi informasi itu adalah basic literacylibrary literacymedia literacytechnology literacy, dan visual literacy. Kedua, penyediaan dan penguatan konten pendidikan agama yang dibutuhkan anak. Keingintahuan yang tinggi dari anak-anak kita tentang materi pendidikan agama perlu direspon dengan tepat dan bijaksana. Jika terdapat kekhawatiran yang besar terhadap unsur-unsur radikalisme dan terorisme, eloknya ini menjadi kekhawatiran bersama dan memacu langkah konstruktif untuk menjawab kekahwatiran tersebut. Dalam konteks online dan digital seperti ini, kita perlu menyediakan format informasi pendidikan agama Islam seluas-luasnya dan dengan jalur akses semudah-mudahnya. Diperlukan sebuah perwajahan jejaring online yang menarik sesuai usia dan perkembangan anak sehingga mengunjunginya adalah semacam tamasya online yang mengasyikkan ke taman pengetahuan yang mengedapankan nilai-nilai luhur Islam yang penuh kedamaian.

Namun demikian, dibalik inisiatif anak-anak untuk lebih "mementingkan" gawai mereka ketimbang buku dalam upaya mencari informasi pendidikan agama Islam, terselip pertanyaan "apakah kita sudah gagal dalam membentuk siswa yang melek dan literat Pendidikan Islam?" atau lebih tajam lagi "adakah gerakan literasi dalam pendidikan Islam?" Ini lebih berupa pertanyaan ke hulu daripada ke hilir terkait konteks masalah. Jika dengan segala keyakinan bahwa budaya literasi pendidikan Islam telah berjalan dengan baik, maka kita mudah membayangkan bahwa telah tersedia buku pendidikan Agama Islam dan juga umum secara luas, perpustakaan yang tertata dan tersedia dengan baik, budaya tulis dan diskusi yang telah berjalan serta environment yang kondusif untuk menjadikan buku sebagai faktor penggerak di setiap lini pembelajaran. Benar, ini mungkin masih pengandaian dalam beberapa hal.

Wallahu a`lam
Saiful Maarif
(Bekerja pada Subdit PAI pada SMP))



Terkait