(Feature) Merah Marun dalam Penguatan Moderasi Beragama bagi GPAI Kabupaten Magelang

Illustrasi Foto (Direktorat PAI Kemenag)



Oleh: Denik Isrowati (GPAI SMP 1 Muntilan. Magelang)

Merah Marun merupakan jargon Kanwil Kementerian Agama Jawa Tengah yang merupakan akronim dari Menebar Ramah Masyarakat Rukun. Jargon ini merupakan gerakan moderatif yang dipelopori oleh kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Propinsi Jawa Tengah. Melalui Gerakan merah marun diharapakan seluruh pegawai kementerian dapat mempelopori terciptanya kerukunan umat, termasuk dalam hal ini Guru Pendidikan Agama Islam (GPAI).

Tulisan singkat ini berusaha melihat kebijakan tersebut dari sudut bagaimana suka duka implementasi kebijakan dan beragam cerita terkait di balik impelemntasi kebijakan tersebut dituangkan. Salah satu upaya dan cerita di balik kebijakan tersebut adalah dilaksanakannya seminar sehari Penguatan Moderasi Beragama yang diselenggarakan oleh kantor Kementrian Agama Kabupaten Magelang. Kegiatan pada hari Rabu, 15 Maret 2023 di Borobudur Silver Resto, dihadiri peserta GPAI dari jenjang SD, SMP, SMA dan SMK kabupaten Magelang.

Fauzi Nur Hadi, kasi Pendidikan Agama Islam sebagai ketua panitia penyelenggara kegiatan menyampaikan beberapa latar belakang kegiatan ini, di antaranya bahwa moderasi beragama merupakan program prioritas negara dan realitas kondisi GPAI yang lebih heterogen, baik latar belakang maupun kondisi di lapangan.

Selain itu, dirinya juga menekankan bahwa ke depannya GPAI perlu memiliki satu visi dan misi dalam pembelajaran moderat, serta agar moderasi beragama dapat lebih mudah diimplementasikan dalam pembelajaran mapel PAI. Latar belakang pemikiran ini dikuatkan dengan tiga narasumber yang memberikan materi moderasi beragama dalam konsep menebar ramah masyarakat rukun .
Dosen Mahsun MSI dalam materinya menyampaikan landasan penting agar bagaimana kita sebagai seorang muslim memiliki kacamata (perspektif) memandang segala sesuatu secara lebih bijaksana.

Intinya, Mahsun menjabarkan tentang ladder of inference (tangga penyimpulan) terhadap hamparan fakta di sekitar kita. Metode ini menurutnya dapat mengantarkan kita memilih aksi yang tepat dengan metode reflective learning. Tahap-tahap yang dijalani seperti tangga berfikir yang tidak diskip atau dilewati yaitu meliputi selected data, added meaning, assumption, conclusion dan beliefs.
Mahsun memberi pesan yang kuat agar kita menjadi orang yang memahami tentang realitas kita dan realitas orang lain. Beberapa ilustrasi tentang kesan tersenyum dan ramah yang merupakan kekhasan masyarakat Indonesia sudah dikenal oleh masyarakat dunia. Penyampaian materi ini disampaikan secara menarik dengan ice breaking di awal materi, diberi stimulus ilustrasi-ilustrasi pemikiran, dan dipandu untuk membuat simpulan-simpulan penting tentang membangun pemikiran dan perspektif bagi GPAI.

Sementara itu, Dr. Panut, Kakankemenag Kabupaten Magelang, menyampaikan realitas permasalahan yang saat ini sedang menimpa kabupaten Magelang. Dirinya menyampaikan, dalam acara bersama jajaran Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dan kepolisian, tentang upaya untuk mempelajari akar permasalahan dan solusi terhadap maraknya kekerasan seperti klitih yang dilakukan anak usia pelajar di kabupaten Magelang.

Kakankemang berpesan agar GPAI menempati posisi dan peran yang strategis untuk mengambil peran menjadi benteng dari potensi kekerasan. GPAI sebagai teladan dalam pembelajaran Akhlakul karimah bagi anak didiknya. Doktor Panut menyampaikan pesan penting kepada GPAI agar menjadi memprioritaskan untuk mengahadapi kondisi-kondisi tidak ideal yang dihadapi dalam dunia Pendidikan. Saat dampak loss learning sesudah masa pandemi yang memaksa beberapa tahun anak-anak kita berada di rumah meninggalkan permasalahan yang kompleks termasuk dampak gadget, Hp dan media sosial yang mungkin dampak positif dan negatifnya sama-sama harus kita tanggung.

Penguatan moderasi beragama berlanjut pada materi yang terasa ringan disampaikan, padahal isinya pemahaman-pemahaman kelas berat yang sering jadi bahan perdebatan dan khilafiyah (berbeda pendapat). Dirinya menyampaikan penjelasan-penjelasan yang terasa tidak memihak atau berlebihan dan lebih adil dalam memandang potensi-potensi keberagaman di sekitar Pendidikan dan lingkungan masyarakat.

Pesan-pesan yang disampikannya sarat makna intelektual dan akademik, bahkan dengan sangat terbuka membuka forum dengan tanya jawab bukan melempar materi yang membuat acara menjadi meriah, hidup, dan begitu dinamis. Siapa narsum yang ketiga ini? Beliau adalah Dr. Irwan Masduki.

Sesi Dr. Irwan Masduki memunculkan 4 pertanyaan yang muncul dan menjadi bahan kajian bersama. Pertama, dari GPAI jenjang SMA, SD dan SMP, bagaimana agar doa bisa menyelesaikan masalah kenakalan anak-anak kita?; kedua, bagaimana sikap kita terhadap peringatan atau perayaan hari besar umat beragama lain?; Ketiga, bagaimana jika yang mengalami konflik perbedaan pendapat ada di antara guru dalam satu instansi?; da keempat, bagaimana merespons pembelajaran toleransi di sekolah yang siswa-siswanya sering bercanda dengan hal-hal perbedaan dalam praktik-praktik beragama? apakah kita perlu khawatir jika hal tersebut masuk kategori intoleransi?

Dr. Irwan memberikan pesan-pesan tentang pentingnya memberi bekal “ta’limul adab” kepada santri (anak yang menuntut ilmu) sebelum memberi ilmu itu sendiri. Mendidik adab ini memang membutuhkan waktu yang lama, di dalamnya sangat mungkin ada kenakalan pada santri atau siswa, dan semua pihak harus bersabar menghadapinya.

Pentingnya adab/akhlaq ini diibaratkan olehnya dalam pesan “wahai muridku, jadikan ilmumu sebagai garam, adabnya sebagai tepung”. Jadi pekerjaan “Tarbiyatul Nufus” (mendidik hati) juga merupakan pekerjaan penting bagi seorang guru. Pengalaman Dr. Irwan dalam menangani permasalahan – permasalahan santri di pondok, selain doa, adalah tetap diselesaikan dengan inovasi atau mencari solusi agar permasalahan santri itu bisa terselesaikan.

Dirinya juga menyampaikan jawaban-jawaban dalam berbagai persepsi fiqh tentang hal-hal yang mungkin banyak menimbulkan perbedaan pendapat, misalnya tentang memberi ucapan selamat kepada orang yang non muslim ketika hari perayaannya tiba. Toleransi itu endingnya tentang kerukunan, ketentraman, maka penting bagi GPAI merepresentasikan dirinya dalam berbagai perbedaan pendapat itu dengan tepat agar terjadi keselarasan dalam masyarakatnya.

Membangun hubungan yang harmonis ini dapat berjalan dengan natural, termasuk ketika ada di lingkungan yang memang sudah biasa dengan perbedaan-perbedaan tersebut. Jika dijalani dengan senang hati, maka tidak menimbulkan kekerasan hati. Dr. Irwan bahkan menceritakan jokes-jokes Gus Dur ketika duduk bersama dengan para romo pendeta yang jelas berbeda agama, namun tetap terasa menjadi komunikasi yang akrab dan tanpa prasangka.

Penutup dari kegiatan hari ini dari para pemateri penguatan moderasi beragama adalah saat GPAI kabupaten Magelang mendapatkan suntikan ilmu dan semangat baru untuk hadir di sekolah dan di lingkungan tempat berada agar menjadi sosok- sosok moderat yang merepresentasikan Islam kaffah dan Islam Rahmatan lil ‘alamin dengan ciri khas menebar ramah masyarakat rukun. SALAM MERAH MARUN.

Wallohualam bishowab.

Editor: Saiful Maarif






Terkait