Oleh: Agus Sholeh (Kasubdit PAI SMP/SMPLB, Direktorat Pendidikan Agama Islam, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam)
Beberapa hari lalu kita baru saja memperingati Hari Pendidikan Nasional. Ya, setiap tanggal 2 Mei kita memperingati Hari Pendidikan Nasional, sebuah ritual untuk memperingati hari lahirnya Ki Hajar Dewantoro, yang ditetapkan sebagai Bapak Pendidikan Indonesia.
Untuk tahun 2023, Kemdikbudristek telah menetapkan tema Hardiknas, yaitu “Bergerak Bersama Semarakkan Merdeka Belajar”. Selain itu, Kemendikbudristek juga mencanangkan bahwa Mei 2023 menjadi Bulan Merdeka Belajar.
Peringatan Hari Pendidikan Nasional memberikan sebuah spirit dan kesadaran baru kepada kita semua bahwa pendidikan itu penting dan strategis. Pendidikan menjadi salah satu fondasi untuk membangun bangsa Indonesia lebih maju sebagaimana tertulis di dalam Pembukaan UUD 1945, bahwa pendidikan sangat diperlukan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Namun harus disadari, kualitas pendidikan kita masih jauh dari kata sempurna. Menilik data World Population Review 2021, Indonesia berada pada peringkat ke-54 dari 78 negara yang masuk dalam pemeringkatan pendidikan dunia. Kita masih kalah dengan tetangga kita Singapura (21), Malaysia (38), dan Thailand (46). Memang kita bisa sedikit menghibur diri, karena kita sedikit unggul dari Filipina (55), Vietnam (66), dan Myanmar (77).
Perubahan Kurikulum
Kondisi pendidikan nasional yang tidak menggembirakan ini menjadi alasan umum yang menggerakkan ide besar tentang perubahan kurikulum. Saat ini kita disibukkan dengan rencana pemerintah yang akan mengubah kurikulum 2013 menjadi kurikulum 2024, dikenal dengan Kurikulum Merdeka.
Sebuah langkah perubahan tentu tidak serta merta dapat berjalan dengan mulus dan diterima semua pihak. Ada banyak kritik dan kontra terhadap rencana perubahan kurikulum ini karena dianggap tidak dilakukan secara transparan dan melibatkan semua pihak. Karena itu, muncul syak wasangka terhadap rencana perubahan itu yang pada akhirnya tidak membangun iklim pendidikan yang kondusif dan kompetitif.
Pada dasarnya, perubahan kurikulum sesungguhnya menemukan momentum yang tepat dan merupakan suatu usaha mulia dan akan menjadi legacy hanya jika dilakukan dengan jujur untuk kemajuan bangsa.
Bangsa ini membutuhkan suatu terobosan baru dalam bidang pendidikan setelah dua tahun kita dihantam oleh pandemi Covid 19. Kita mengalami pergeseran paradigma (paradigm shift) karena selama pandemi proses belajar mengajar tidak berjalan sebagaimana mestinya (lost learning).
Sejak Indonesia merdeka, dari 1945 sampai dengan 2023 ini, kurikulum pendidikan nasional telah berubah sebanyak 11 kali. Jadi, rata-rata hampir setiap enam tahun sekali kurikulum pendidikan nasional kita berubah.
Pergantian kurikulum yang sering terjadi telah membuat bingung para siswa maupun orang tua. Tentu saja hal ini menjadi persoalan yang serius mengingat konsistensi sistem pendidikan menjadi tidak jelas, proses belajar terganggu, dan kualitas siswa yang dihasilkan juga tidak optimal. Tidak jelas apakah seringnya pergantian kurikulum tersebut bertujuan untuk meningkatkan kompetensi anak didik dan daya saing lulusan atau hanyalah karena ego politik dari pejabat terkait.
Pendidikan kita sekarang ini memang harus diperbaiki agar dapat mengantar anak didik hidup lebih baik di masa depan. Masa depan yang penuh persaingan dan ketidakpastian menuntut peran dunia pendidikan yang dapat memberikan bekal yang memadai bagi anak didik agar bisa survive dan kompetitif. Karena itu, menyitir petuah dari Sayidina Ali, kita perlu mendidik anak sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup di zamannya, bukan di zaman kita.
Mengapa pendidikan harus dikaitkan dengan masa depan? Jawabannya adalah karena pendidikan tidak dapat dinikmati hasil dan dampaknya dalam sekejap mata. Pendidikan memerlukan waktu yang lama, bahkan mungkin lama sekali, untuk berkembang dan memberi hasil nyata.
Logika waktu ini bukan untuk melihat dan memahami pendidikan sebagai sepenuhnya sebuah conundrum (teka-teki rumit), namun lebih berupa cita idealitas, bahwa pendidikan Indonesia harus bisa bersaing dengan dunia internasional yang pada akhirnya dapat memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana dicita-citakan dalam Pembukaan UUD 1945.
Dalam semangat tersebut, pendidikan kita perlu vitamin baru, darah baru yang segar, dan angin baru yang menyejukkan agar lebih sehat dan mampu mengantarkan lulusannya dalam menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian.
Dinamika ini pada akhirnya akan merubah tatanan dunia pendidikan yang ada saat ini. Paradigma baru pendidikan diharapkan dapat mewujudkan suatu hasil yang luar biasa (extra ordinary) agar menjadi leverage (daya ungkit) bagi masa depan anak-anak kita yang lebih unggul dan berdaya saing.
Oleh karena itu, kita harus memastikan bahwa kurikulum baru yang sedang diupayakan dapat menjadikan anak-anak kita sebagai manusia merdeka, sebagaimana yang dicita-citakan dalam tujuan pendidikan nasional. Dengan demikian, dunia pendidikan kita harus bisa membangun berbagai harapan fundamental.
Pertama, pendidikan harus bisa memahamkan kepada anak didik kita tentang hak dan kewajibannya, sebagai warga Indonesia. Jadi, ultimate goalnya adalah untuk membentuk anak didik kita menjadi anak-anak yang berkarakter. Pada titik ini, pengalaman pendidikan betul-betul harus berfungsi instrumental sebagai pembentuk perilaku pribadi individu dan sosial sebagaimana yang digaungkan dalam pembelajaran sepanjang hayat (long life education).
Kedua, pengajaran di sekolah harus bisa berfungsi menjadi instrumen perekat sosial (social binder). Anak-anak harus bisa menghargai kelebihan dan kekurangan orang lain, mindset yang dibangun selalu positif, sehingga mereka dapat menghargai orang lain, mau belajar dari kelebihan dan kekurangan orang lain.
Pendidikan secara umum bukan hanya untuk membuat anak-anak itu pintar secara kognitif, akan tetapi bagaimana bisa menginternalisasi nilai pendidikan dengan baik yang dapat membentuk karakter dan kepribadian yang baik yang terefleksi dalam interaksi sosialnya. Pendidikan diharapkan bisa menjadi instrumen transformatif yang membangun individu yang hebat untuk seterusnya mampu membentuk perilaku masyarakat yang nyaman dan damai.
Dunia pendidikan juga diharapkan akan berfungsi sebagai faktor pendukung rekayasa sosial. Sebuah bangsa yang besar, bangsa yang maju, sesungguhnya merupakan akumulasi dari budaya yang otentik dengan rekayasa sosialnya. Dalam hal ini, Jepang dan Korea adalah contoh terang benderang kerja budaya rekayasa sosial dengan mengedepankan satu pelajaran utama: derajat maju bukan berupa capaian tiba-tiba atau given.
Jepang bisa maju karena mempunyai kepribadian yang sangat kuat, dan telah teruji dalam Perang Dunia, baik di Perang Dunia I maupun Perang Dunia II hingga saat ini. Tradisi belajar orang Jepang, terutama tradisi membaca pada anak-anak, termasuk yang tertinggi di belahan dunia sejak anak usia kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Jadi rekayasa sosial itu dilakukan mulai dari pendidikan paling dasar.
Sementara itu, Korea juga dianggap sebagai bangsa yang tidak malu untuk meniru hal-hal yang baik atau inovatif yang dilakukan orang Jepang. Ada semacam pameo bahwa orang Jepang itu maju karena berani meniru apa yang dilakukan oleh Amerika (what American Do, Japan Can Do).
Sedangkan bagi Korea, apa yang dilakukan oleh Jepang menjadi acuannya. Maka rumusnya, apapun yang bisa dilakukan oleh Jepang, maka Korea juga bisa melakukan dengan lebih baik (what Japan do, Korea can do better).
Mental Merdeka
Di tengah kekhawatiran masyarakat terhadap kinerja Mendikbudristek saat ini, masyarakat masih tetap memberikan harapan agar Pemerintah serius dalam melakukan perbaikan di bidang pendidikan.
Perubahan kurikulum yang dilakukan oleh Kemendikbudristek melalui Kurikulum Merdeka harus dibarengi dengan kesadaran dan kejujuran tentang masih lemahnya mutu Pendidikan Indonesia.
Indonesia memerlukan iklim pendidikan nasional yang kondusif yang dapat memberi bekal yang memadai bagi anak didik kita dalam menatap masa depan mereka agar mereka lebih baik dan lebih sejahtera.
Momentum Hari Pendidikan Nasional menuntut kita semua untuk bekerja sama dan bersama-sama bekerja agar dunia Pendidikan kita dapat memoderasi anak didik agar benar-benar menjadi manusia merdeka, merdeka dari kebodohan, ketertinggalan, dan ketidakadilan.
Hal demikian selayaknya pepatah Arab yang sangat populer yaitu himmaty himmatul mulki, wa nafsy nafsul khurri (ambisiku adalah ambisi para pemimpin, namun diriku adalah seorang yang merdeka).