Seberapa Penting Moderasi Beragama bagi Guru PAI di Sekolah?

Illustrasi Foto (Direktorat PAI Kemenag)

Yogyakarta (Dit. PAI) -- Direktur Pendidikan Agama Islam Kementerian Agama RI, Amrullah, di depan para guru SLB se-Jawa, Banten, dan Lampung menjelaskan makna penting moderasi beragama dalam konteks Pendidikan Agama Islam dan hal-hal terkait. Amrullah menyampaikan hal tersebut saat membuka kegiatan Program Guru Master PAI SD/SDLB Angkatan 2 di Yogyakarta (14/6/2022).

Berdasarkan Perjanjian Kinerja (PERKIN) Direktur PAI, beberapa target Program Moderasi Beragama antara lain adalah persentase siswa yang memperoleh pembelajaran PAI bermuatan moderasi beragama berada dalam persentase 60 persen dan persentase GPAI dan pengawas PAI di sekolah yang dibina dalam moderasi beragama sebesar masing-masing 30 persen.

Dalam implementasinya, Direktorat PAI bekerja sama dengan Tim INOVASI, sebuah lembaga konsultan yang berperan dalam mensosialisasikan program unggulan dan strategis dari Kementerian Agama di tahun 2022 yang dicanangkan sebagai tahun toleransi.

Mengingat jumlah siswa muslim sangat besar, yakni sekitar 38 juta, Kementerian Agama memandang peran para GPAI merupakan faktor yang sangat penting dalam proses insersi moderasi beragama, meskipun bukan penentu satu-satunya keberhasilannya.

Beberapa strategi yang dilakukan dalam pencapaian PERKIN antara lain, pertama, dengan sosialisasi untuk memastikan agar murid, guru, dan pengawas serta semua stakeholder tahu tentang program moderasi beragama dalam PAI.

Kedua, langkah insersi moderasi beragama, yakni bentuk adaptasi modul moderasi beragama dengan memastikan cakupan perspektif dan muatan sembilan nilai-nilai moderasi beragama berada dalam pengajaran dan kegiatan belajar - mengajar PAI secara bermakna.

Paparan Direktur PAI Amrullah tersebut mampu memancing rasa ingin tahu dan pertanyaan para peserta kegiatan mengenai moderasi beragama pada Pendidikan Agama Islam. Tim Media Direktorat PAI (Subdit PAI pada SD) merangkum beberapa pertanyaan tersebut beserta respons narasumber terkait.

Beberapa pertanyaan tentang moderasi beragama yang berhasil dikumpulkan dari para guru SLB, secara umum mewakili kondisi masih banyaknya kesalahpahaman mengenai pengertian moderasi beragama itu sendiri.

Hal ini terlihat dari pertanyaan yang menyorot seberapa penting moderasi beragama bagi masyarakat Indonesia. Dalam pertanyaan ini, moderasi beragama dilihat sebagai hal yang pada dasarnya tidak diperlukan menjadi sebuah kebijakan karena dinilai berlebihan.

Selain itu, terdapat pertanyaan tentang seberapa intoleran masyarakat muslim Indonesia hingga kampanye dan insersi moderasi beragama masif dijalankan di setiap lini kehidupan masyarakat, terutama sekolah, padahal masyarakat Indonesia dikenal mengedepankan sikap moderat.

Menanggapi pertanyaan tersebut, narasumber moderasi beragama dari INOVASI, Achmad Munjid menjelaskan bahwa memang sama sekali tidak ada masalah dengan Agama Islam yang memang sudah moderat.

Yang menjadi fokus dari moderasi beragama bukan pada aspek agamanya, melainkan pada praktik pelaksanaan beragama. Menurutnya, Tim Inovasi telah mengumpulkan sejumlah hasil penelitian yang mengindikasikan bahwasanya terjadi peningkatan sikap dan tindakan intoleran di masyarakat.

Di samping pertanyaan tersebut, terdapat hal menarik lainnya terkait kritik atau pertanyaan tentang sembilan nilai moderasi beragama. Misalnya, bagaimana relasi nilai i’tidal (keadilan) dengan La’Unf (menolak kekerasan), sementara faktanya Nabi SAW juga menerapkan kekerasan di medan perang dan melarang untuk melarikan diri?

Dalam hal ini narasumber menjelaskan bahwa tindak kekerasan yang menjadi substansi pertanyaan memiliki dasar atau hujjahnya sendiri. Apa yang dialami di masa Nabi adalah sebuah perang karena beliau dan kaum muslimin diperangi, dan dalam hal ini wajib bertahan dan membela diri.

Sementara itu, konteks kehidupan sekarang berada dalam kondisi damai, jauh dari kekerasan. Pada akhirnya, penerapan sikap i’tidal lebih berupa sikap menghindari konflik pada saat berbeda pendapat.

Lebih jauh, pertanyaan lain tentang nilai i’tiraf al urfa atau ramah budaya adalah berupa: bagaimana jika budaya lokal mengandung hal-hal yang justru melanggar nilai agama, misalnya pornografi atau berbau syirik?

Menanggapi hal ini, narasumber menekankan agar kita perlu menerapkan prinsip akomodatif namun hati-hati, artinya hanya mengambil nilai-nilai budaya yang sesuai atau selaras dengan ajaran Islam. Sederhananya, yang buruk ditinggalkan, yang baik tetap dilestarikan. (Wikan)



Terkait