Pandemi Covid-19 dan Kurikulum Kehidupan

Illustrasi Foto (Direktorat PAI Kemenag)


Oleh: Harjana, S.Pd
Guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti SD Negeri Asemcilik
Sentolo, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta)


Wabah Covid-19 pertama kali muncul dan berkembang pada akhir tahun 2019 di wilayah Wuhan, China. Pada mulanya, mendapatkan kabar mengenai Covid-19 hanya sebatas melalui pemberitaan di media. Akan tetapi, siapa sangka, pada 20 Februari 2020 virus tersebut masuk ke Indonesia. Segala upaya langsung dilakukan untuk menekan virus tersebut, namun penyebarannya tetap berjalan, bahkan meluas.

Peningkatan kasus harian di Indonesia penyebaran Covid-19 semakin banyak, hampir semua daerah di Indonesia terdapat kasus Covid-19. Hal tersebut menyebabkan kekhawatiran masyarakat, sehingga sangat mereka sangat tertekan dan mengalami berbagai problem dalam berbagai bidang kehidupan, tidak terkecuali dalam bidang pendidikan.

Menyadari problem tersebut, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Surat Edaran Nomor 36962/MPK.A/HK/2020 tentang Pembelajaran secara Daring dan Bekerja dari Rumah dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease (COVID-19).

Lebih lanjut, Kementerian Agama melalui Ditjen Pendidikan Islam mengeluarkan Surat Edaran Nomor 697/03/2020 tentang Perubahan Atas Surat Edaran Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomar 657/03/2020 tentang Upaya Pencegahan Penyebaran COVID-19 (Corona) di Lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam.

Problem akses internet

Keluarnya Surat Edaran tersebut “memaksa” semua aktifitas belajar offline berubah menjadi daring/online. Dahulu, belajar di depan papan tulis, sekarang menjadi di depan gawai, handphone, atau laptop. Mulai dari jenjang Taman Kanak-Kanak, SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK,MA hingga perkuliahan, menjalankan pola pendidikan yang dilakukan secara daring.

Dikutip dari Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi dan Kemendikbud, tercatat pada tahun ajaran 2019/2020 anak Indonesia yang berada di jenjang SD berjumlah 25,2 juta siswa, SMP 10 juta, SMA 4,9 juta, dan mahasiswa 7,3 juta.

Kebijakan atas proses pembelajaran jarak jauh, seperti tertuang dalam surat edaran masing-masing kementerian tersebut, sudah diupayakan berjalan. Namun, implementasi di lapangan tidaklah semulus seperti yang diperkirakan.

Faktanya, cukup banyak ditemukan kendala di lapangan. Pembelajaran jarak jauh dengan pemanfaatan teknologi informasi barangkali akan efektif dan berjalan baik di daerah dengan akses teknologi informasi yang memadai, didukung oleh kepemilikan perangkat komunikasi yang juga memadai.

Akan tetapi, berbeda daerah berbeda pula kendala. Di daerah pedesaan atau terpencil, yang belum dapat ditemukan akses teknologi informasi yang memadai serta tingkat ekonomi orangtua yang pas-pasan, tentu akan membawa dampak berbeda dalam menuntut ilmu pengetahuan.

Kurikulum kehidupan

Pembelajaran di kala pandemi memang harus tetap dilakukan karena menyangkut hajat orang banyak dan menjaga keberlangsungan generasi cerdas bangsa. Namun, selama ini pembelajaran yang diajarkan dan digunakan adalah kurikulum persekolahan biasa, hanya disederhanakan materinya. Oleh karena itu, perlu adanya upaya pergeseran paradigma atau sudut pandang dalam memaknai kurikulum khusus di masa pandemi.

Contohnya, bukan saja guru perlu memberi materi dan kemudian siswa diberikan tugas, namun guru perlu memberi pemaknaan kurikulum secara lebih luas, dalam hal ini dapat disebut dengan Kurikulum Kehidupan.

Seperti yang disampaikan MenDikbudRistek Nadiem Anwar Makarim (Kompas.com, 23 Juli 2020), di kala pandemi anak anak harus belajar dari rumah, di tengah keterbatasan dan perlu beradaptasi dengan kebiasaan baru. Artinya, siswa dituntut untuk mampu menyesuaikan dengan keadaan, dengan pemaknaan harus diperluas berdasarkan kondisi lingkungan masing-masing.

Tidak dapat dipungkiri, guru maupun siswa merasa kaget dengan perubahan pembelajaran ini. Kesiapan guru dalam menyiapan perangkat belajar daring, kendala orangtua dengan fasilitas terbatas, dan kondisi daerah yang berbeda dalam akses teknologi informasi menjadi problem bersama secara umum.

Tentunya, melihat hal-hal diatas, kiranya perlu dipertimbangkan kurikulum kehidupan menjadi jalan alternatif yang perlu dikembangkan, sehingga lembaga pendidikan formal tidak melulu fokus penuh pada kurikulum persekolahan tetapi menyandingkannya dengan kurikulum berbasis kearifan lokal setiap daerah.

Justu dengan dipadukannya kurikulum sekolah dengan kurikulum kehidupan, belajar siswa anak lebih akan terasa sangat bermakna. Kurikulum kehidupan akan mengajarakan banyak nilai, mulai dari melatih kedisiplinan, kesabaran, mengasah kepekaan sosial, tanggung jawab, serta mempertajam kecerdasan spiritual dan emosional pada anak anak.

Kurikulum kehidupan ini secara tidak langsung memadukan pembelajaran dengan aktivitas keluarga sebagai dasar dalam proses belajar siswa. Kurikulum kehidupan secara tidak langsung juga dekat sekali dengan kehidupan anak. Sebagai contoh, untuk anak-anak perempuan, oleh guru diberikan stimulus untuk bersikap saling membantu di rumah.

Tentunya, orang tua akan memberikan contoh dan memberikan tugas untuk membantu pekerjaan ibu, misal menyapu, mencuci piring, mencuci bajunya sendiri, bahkan membantu memasak. Sementara itu, untuk anak laki-laki bisa diajak untuk merawat tanaman di sekitar rumah, menanam pohon, melatih untuk solat berjamaah, berlatih menjadi imam solat, hingga diajak diskusi untuk menemukan solusi atas masalah yang ada di lingkungan rumah.

Kurikulum kehidupan tidak bisa dipandang rendah, walaupun akan muncul kekhawatiran anak anak akan tertinggal secara akademis. Yakinlah bahwa anak anak mampu mengejar pelajaran. Hal lainnya, pendidikan spiritual, emosional, dan sosial tidak dapat secara langsung didapatkan secara verbal, tetapi dengan praktik secara langsung.

Dengan demikian, sekolah perlu bekerja sama dengan orangtua untuk berkolaborasi membentuk karakter nilai spirtual, emosional, dan sosial kepada siswa dengan mengkreasi kurikulum kehidupan, sehingga terjadi keseimbangan antara perkembangan anak dengan materi sederhana dari sekolah dengan pembelajaran jarak jauh.

Karena kita belum tahu kapan pandemi ini berakhir dan kapan sekolah akan dimulai, maka peran kurikulum kehidupan perlu jadikan solusi tanpa meninggalkan esensi dari kurikulum persekolahan yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagaimana terdapat pada Keputusan Pelaksanaan Kurikulum pada Satuan Pendidikan dalam Kondisi Khusus Nomor 018/H/KR/2020 dan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor: 2791 Tahun 2020 tentang Panduan Kurikulum Darurat pada Madrasah.

Secara tidak langsung, Kurikulum Kondisi Khusus dan Kurikulum Kehidupan berdampingan siring sejalan. Hanya saja, pada kondisi pandemic, keberadaan Kurikulum Kehidupan semakin terasa dan sangat diperlukan guna memudahkan dalam anak-anak mendapat pelajaran spiritual, personal, dan sosial.

Dahulu, beragam materi pengajaran tersebut diajarkan di sekolah dengan waktu yang terbatas. Namun, hari ini pelajaran tersebut langsung bersanding dengan kehidupan anak-anak. Sebagai contoh, dalam pengamalan ibadah, tentunya dahulu anak-anak dikondisikan solat berjamaah di sekolah. Namun, praktek tersebut sekarang dilakukan bersama keluarga di rumah atau lingkungan rumah.

Pada akhirnya, menimbang kondisi dan kebutuhan yang dihadapi di lapangan saat ini, konsep dan implementasi kurikulum kehidupan seyogyanya perlu menjadi pertimbangan sebagai alternatif solusi kependidikan. Kurikulum kehidupan, sebagaimana terjelaskan di atas, memberi perspektif dan warna baru yang relevan dengan tantangan terkini.


Editor : Tim Media PAI (SM/SW)



Terkait