Jakarta (Pendis) - "Dalam pendidikan, berpikir kritis mutlak diperlukan." Begitulah kesimpulan dari forum Diskusi Kelompok Terpumpun (Focus Group Discussion) bertema Penguatan Metode Berpikir Kritis di Bidang Pendidikan sebagai Upaya Mendukung Pencegahan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme. Diskusi yang diinisiasi Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis) Kemenag bersama UNDP Protect ini yang dihelat di Hotel Arya Duta Jakarta, Senin (25-26/11). Dengan biasa berpikir kritis seseorang bisa memilah mana yang benar, mana pula yang salah. Mana yang penting, mana pula yang mubazir. Mana yang harus diikuti dan mana yang tidak perlu diikuti. "Intinya, dengan berpikir kritis, tidak akan mudah kena tipu," simpul Anis Masykhur.
Pentingnya critical thinking ditegaskan secara filosofis oleh Franz Magnis Suseno, seorang pendeta, budayawan dan juga dosen STF Driyarkara dan juga oleh Kamaruddin Amin, Direktur Jenderal Pendidikan Islam. Kamaruddin menyampaikan pentingnya kemampuan peserta didik ketika berhadapan dengan provokasi berbasis agama. Agama menjadi problem ketika dieksploitasi untuk kepentingan politik. "Kita harus bisa memilah mana agama dan mana politik," jeasnya dengan tegas.
Diskusi yang terbagi dalam delapan sesi tersebut berlangsung seru dan gayeng. Pada sesi keempat, diskusi terfokus pada persoalan berpikir kritis dan “produksi” guru menghadirkan tiga narasumber, yakni Akh Muzakki (Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya), Abdur Rozaki (CISFORM UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), dan Uweis Anis Chairuman (Kemdikbud). Ketiga narasumber tersebut mengkritisi proses penyiapan tenaga guru pada LPTK.
Dalam paparannya Prof Akh Muzakki mengatakan, unggul dalam sains, unggul dalam pelajaran, ternyata tidak menjamin unggul kebangsaan. “Jadi, penguasaan akademik siswa tidak berbanding lurus dengan kritis dalam soal nasionalisme. Tempo hari kita dengan profesor yang marah-marah kepada polisi sambil menyebutnya taghut. Ini profesor lho,” tandasnya.
Menanggapi lontaran Prof Muzakki, Bhiksu Nyanabandhu Shakya mengatakan nalar kritis siswa terkait nilai-nilai kebangsaan memang rapuh sekali. Jika kita telisik, ada satu kesalahan yang terjadi, salah satunya dihapuskannya mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP).
“Padahal PMP bukan sekedar ideologi bangsa. Namun, ia merupakan moral dan etika bangsa,” tandas Bhiksu Vihara Jakarta ini.
Sementara untuk sesi kelima yang dimoderatori Anis Masykhur menghadirkan tiga narasumber, yakni Bahrudin (Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah Salatiga), Bhiksu Nyanabandhu Shakya (Vihara Jakarta), dan Ahmad Hidayatullah (mantan Kepala MAN IC Gorontalo dan Serpong).
Bahrudin menyampaikan pentingnya pendidikan terintegrasi dengan lingkungan sekitar. Syukur-syukur bisa mengadvokasi masyarakat dalam mewujudkan keadilan. "Pendidikan kritis ditanamkan ke peserta didik dan jadikan kampungnya sebagai ruang kelas," cerita Bahrudin. Penggunaan ruang kelas raksasa tersebut menjadikan siswa peduli dan merasa memiliki dengan kampungnya.
Kegiatan fullday yang terselenggara berkat kerjasama dengan United Nations Development Programme (UNDP) atau Badan Program Pembangunan PBB ini dijadwalkan dua hari, Senin-Selasa, 25-26 November 2019 (ova/n15/Yani)