Penanggulangan Radikalisme Melalui Penguatan Pendidikan Agama

Illustrasi Foto (Direktorat PAI Kemenag)

Oleh : Agus Sholeh

Kasubdit PAI pada SMP/SMPLB

Pendahuluan

Setidaknya dalam dua dekade terakhir ini radikalisme telah menjadi salah satu agenda penting yang dibicarakan dalam berbagai forum di tingkat nasional, regional, dan internasional. Sedemikian pentingnya agenda ini, bahkan berbagai seminar dan penelitian telah dilakukan untuk mengkaji secara tuntas fenomena ini, dan dianalisis dengan berbagai teori dan perspektif keilmuan.

Hampir setiap saat seminar dan kajian tentang ini diselenggarakan di berbagai tempat, baik di sekolah, perguruan tinggi serta lembaga-lembaga riset dan kajian internasional. Karenanya tidak heran bila   United Nation memasukkan isu radikalisme sebagai salah satu agend a terpenting masyarakat dunia.

Secara umum masyarakat dunia memandang radikalisme sebagai tindakan yang bersifat transnasional yang merusak dan menghancurkan tata kehidupan global dalam berbagai bidang. Radikalisme dinilai tidak hanya merusak tatanan perdamaian dunia, hak asasi manusia dan rule of law yang memproteksi warga sipil dari ancaman perang. Lebih dari itu, radikalisme juga dipandang telah menumbuh-suburkan berbagai konflik sosial yang sangat merugikan masyarakat. Oleh karena itu, apa pun bentuk penanggulangan terhadap tindak radikalisme merupakan hal yang signifikan bagi penciptaan perdamaian dunia. 

Asal radikalisme

Paul McLaughllin dalam bukunya, 'Radicalism: A Philosophical Study', menyatakan bahwa nilai positif dalam radikalisme adalah mendukung kemajuan sosial (progresif). Namun, pada perkembangannya, istilah ini menjadi ambigu.

Citra 'radikalisme' telah terbelah. Di satu sisi, radikalisme menarik bagi sebagian orang, namun disisi lain ini sekaligus menakutkan bagi pihak lain. Radikalisme mengandung gambaran kepahlawanan, namun juga kekejaman, ada citra tentang harapan, namun juga mengandung ketakutan.

Bagi kebanyakan kaum sosialis di masa krisis, radikalisme dipandang sebagai hal yang baik, namun kaum konservatif menganggapnya sebagai hal yang buruk. Bahkan kaum sosialis juga bisa menganggap radikalisme sebagai hal yang buruk bila radikalisme muncul pada situasi non-krisis.

Secara etimologis, kata 'radikal' diturunkan dari bahasa Latin klasik, yakni 'radix', artinya 'akar' dalam tumbuhan. Pada perkembangan selanjutnya, radikal berarti berkenaan dengan hal yang paling asli, paling utama, dan paling mendasar/fundamental. Radikal berkenaan dengan cara memahami suatu persoalan.

Karl Marx pada 1844 menyatakan, "Menjadi radikal adalah memahami sampai ke akar-akarnya." Memahami sampai ke akar berarti memahami masalah manusia yang konkret yakni ekonomi-politik.

Tak hanya berkaitan dengan cara memahami masalah, radikal juga bermakna aksi politik. Selepas abad ke-17, makna kata radikal berubah menjadi aksi menuntut perubahan mendasar.

McLaughlin mendefinisikan radikalisme politik sebagai jenis aksi untuk mewujudkan perubahan mendasar terhadap nilai-nilai-nilai, praktik-praktik, relasi, dan institusi sosial-politik yang fundamental.

Ada ciri radikalisme. Pertama, radikalisme berciri utopis, yakni mendambakan sistem sosial-politik yang sempurna bak khayalan. Radikalisme, disebutnya, bersifat utopis dalam makna yang buruk. Utopianisme di sini dimaknai sebagai kondisi yang mustahil diwujudkan, dan usaha untuk mewujudkannya itu tergolong berbahaya.

Ciri kedua, bersifat ekstrem dalam aksinya. Ada dua makna ekstrem di sini, pertama, ekstrem berarti tidak mengambil posisi di tengah-tengah dalam spektrum politik, alias bukan moderat atau sentris. Kedua, ekstrem berarti menggunakan cara-cara kekerasan. Persis di titik inilah, yakni saat menggunakan kekerasan, radikalisme berkaitan dengan terorisme.

Laughlin menyatakan gerakan radikal tak selalu mempunyai muatan kekerasan. Ada pula radikalisme yang tidak menganjurkan kekerasan.

"Namun di sini kita perlu mempertimbangkan radikalisme politik sebagai cara aksi: bila tidak ada bentuk-bentuk kekerasan, maka jelas tak perlu menghubungkan antara radikalisme dan ekstremisme," tulisnya.

Lawan kata dari radikalisme adalah konservatisme dan reformisme. Sifat konservatif adalah mempertahankan nilai-nilai, praktik, relasi, dan institusi yang sudah berlaku dalam kehidupan. Reformasi adalah upaya membuat penyesuaian dengan keadaan, bukan mengubahnya secara drastis. Meski begitu, pada awalnya radikalisme adalah cabang dari reformisme yang bergerak ke arah ekstrem.

Radikalisme muncul dari apatisme dan frustrasi politik akibat diskriminasi dan ketidakadilan yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat terhadap kelompok lain yang memperlakukannya secara tidak proporsional. Radikalisme baik yang religius-based, ethinic-based, maupun individuallly-based merupakan sikap protes ketidakpuasan yang diekspresikan dalam berbagai modus operandi-nya, mulai dalam bentuk keluhan keras, keresahan, kerusuhan, keberingasan, hingga terorisme. 

Secara historis tindak radikalisme sebagai fenomena global sesungguhnya telah muncul sejak awal sejarah manusia. Radikalisme terjadi di hampir semua negara dan tidak bisa dikaitkan dengan agama tertentu, walau dalam kenyataannya para teroris sering mengatasnamakan agama sebagai alasan pembenar atas tindak kekerasan mereka. Namun demikian, apapun bentuknya, tindak radikalisme yang dikatagorikan sebagai bentuk tindakan kekerasan serius yang bertujuan mempengaruhi publik atau lembaga melalui intimidasi, merupakan tindakan yang merugikan masyarakat. Untuk itu, pengkajian tentang tindak radikalisme menjadi sangat penting untuk dilakukan. 

Penguatan Pendidikan Agama

Salah satu pendekatan efektif yang dapat ditempuh dalam upaya penanggulangan radikalisme di antaranya adalah penguatan pendidikan agama di sekolah. Dalam hal ini terdapat rationale mengapa pendekatan agama dinilai dapat dipilih sebagai pendekatan yang efektif.

Pertama, masyarakat Indonesia adalah masyarakat religius. Sebagai masyarakat beragama, paling tidak pada tataran ideologis masyarakat meyakini kebenaran ajaran, keberadaan Tuhan, dan keberadaan agama.

Kedua, sebagai sistem relasi, agama dapat dijadikan sebagai unsur perekat terbangunnya integrasi sosial.

Ketiga, sebagai sistem nilai dan norma, agama dipandang berfungsi determinatif bagi pengaturan dan pengadaban manusia. Baik-buruknya atau beradab-tidaknya perilaku manusia tergantung pada sejauh mana efektifitas internalisasi dan pengalaman nilai serta norma agama itu sendiri.

Keempat, peran dan fungsi guru pendidikan agama relatif menentukan derajat kohesivitas umat beragama serta inklusivitas dan eksklusifitas pengamalan agama pada anak didik. Karena itu, pada spektrum ini, untuk meredam radikalitas dan ekstrimitas gerakan keagamaan yang dapat melahirkan tindakan radikalisme berbasis agama kiranya dapat ditempuh melalui penguatan para guru agama dan anak didik dalam suasana komunikasi yang dialogis antar para guru agama.

Dalam pada itu, langkah ke arah terbendungnya kemungkinan tindak radikalisme di kalangan umat beragama perlu dilakukan dengan berbagai cara. Untuk itu, setidaknya terdapat 3 (tiga) pendekatan yang dapat dilakukan, yakni:

Pertama, perspektif global dan multikultural. Sebagai fenomena global, radikalisme perlu dikenali secara utuh dengan mempertimbangkan globalisme sebagai variabel penting peradaban dunia, dengan berbagai perkembangan sains, teknologi, serta transportasi dan informasi. Dalam konteks ini, agama yang memiliki kesamaan watak global dan universal karena dianut oleh sebagian terbesar umat manusia mesti mempertimbangkan dimensi peradaban global dalam melakukan trasformasi nilai dan pesan profetik yang dikandungnya.

Tetapi pada saat yang bersamaan, pendekatan keagamaan juga mesti mempertimbangkan keberadaan aneka budaya, pluralitas etnik, serta keragaman anutan keagamaan dan keyakinan. Karena itu, ekspresi keberagamaan yang mesti dikembangkan di tengah peradaban moderen ini adalah penguatan jatidirinya sebagai perangkat nilai yang mengandung semangat universal dan sekaligus sikap toleransinya terhadap ekspresi keagamaan yang beragam dalam buaian dimensi budaya yang bersifat multikultural.

Kedua, kurikulum pendidikan agama. Umum diketahui bahwa keyakinan keagamaan dibangun dan ditransmissikan dari sumber-sumber tertulis yang dipandang otoritatif dan mutlak benar serta diyakini sebagai bersumber dari firman Tuhan, yang kemudian dikenal sebagai Kitab Suci. Karena itu, upaya sungguh-sungguh dalam melaksanakan ajaran Tuhan itu diyakini sebagai missi suci yang dipastikan akan berbuah surga dan kedamaian hidup yang abadi. Akan tetapi, karena sifatnya yang tekstual, global dan seringkali abstrak, firman Tuhan yang termaktub dalam Kitab Suci itu memiliki kemungkinan multi-tafsir dan dapat dipahami dalam logika yang terkadang bertentangan dengan tujuan yang dimaksudkannya. Salah satu akibatnya, semangat agama untuk mewujudkan perdamaian, memperjuangkan kebenaran, dan memberantas kemunkaran, misalnya, dipahami dengan menghancurkan berbagai fenomena destruktif dengan cara-cara yang tidak proporsional, sehingga menghasilkan tindakan yang justru bertentangan secara diametral dengan cita-cita keagamaan itu sendiri.

Dalam konteks ini, upaya penanggulangan radikalisme perlu dilakukan dengan mengidentifikasi materi dan bahan ajar yang menjadi dasar kurikulum yang dipakai. Pemetaan terhadap materi kurikulum ini dilakukan dengan mengenali topik atau materi pada setiap jenjangnya. Hal ini kemudian akan diketahui bagaimana arah dan pemahaman para guru dan anak didik terhadap materi tersebut. Dalam kurikulumm nasional sudah tidak lagi ditemukan materi-materi yang menimbulkan kontroversial atau khilafiyah, baik itu menyangkut bidang madhab fiqih maupun madhab aqidah.

Ketiga, pengembangan kerangka analisis dan budaya akademik. Sebagai institusi pendidikan nasional yang secara formal mempunyai pijakan kurikulum yang jelas dan terstandar, maka para pengajar mempunyai ruang yang terbuka untuk menyampikan makna dan nilai-nilai pendidikan agama tersebut untuk memahami ajaran Islam yang benar (kaafah), dan menjadikan agama sebagai suatu berkah dan rahmat bagi sekalian alam (rahmatan lil alamin). Rahmat ini tidak hanya untuk satu agama saja, tapi juga untuk umat manusia di muka bumi ini. Karena itu apabila tidak ada kpmunikasi yang baik dan sempitnya ruang dialog dalam memahami materi pembelajaran pada gilirannya berakibat pada miskinnya pisau analisis yang digunakan dan rendahnya budaya akademik yang berlangsung di lingkungan sekolah.

Dalam konteks inilah, terbatasnya semangat kritis dan gugatan intelektual terhadap materi pembelajaran di lingkungan sekolah akan dapat menghambat makna dan tafsir yang luas terhadap misi agama itu sendiri sebagai rahmatan lil alamain.

Karena itu, upaya penanggulangan radikalisme melalui penguatan pendidikan agama perlu dilakukan dengan mengembangkan paradigma keilmuan dan model analisis agar kebenaran tekstual dan doktrin keilmuan tidak sekedar difahami secara searah dan monologis. Pada gilirannya, semangat ini akan bermuara pada tumbuhnya demokratisasi ilmu dan relatifitas tafsir di lingkungan dunia sekolah.           

Penutup

Atas dasar pemikiran itulah, maka menjadi tanggung jawab kalangan guru pendidikan agama Islam untuk membuka kembali khasanah intelektual Islam, yang saat ini masih terpendam, bagi para siswanya di sekolah. Hal ini perlu dilakukan untuk menjawab berbagai pertanyaan mendasar bahwa Islam telah memberikan kontribusi yang nyata dalam membangun perdamaian dunia dan kesejahteraan umat manusia.

Pendidikan agama Islam di sekolah harus memberikan pesan-pesan yang positif dan progresif kepada anak didik karena mereka adalah para pewaris masa depan dan menjadi pemimpin di muka bumi ini (khalifah).



Terkait