Memaknai Peran Penting Asosiasi Dosen Pendidikan Agama Islam pada PTU

Dr. Andi Hadianto selaku Ketua Umum ADPISI (08/08)

Mengajar Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum (PTU) memiliki perbedaan signifikan dengan hal yang sama di lingkup Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI). Mahasiswa PTKI sebagian besar memiliki latar belakang Pendidikan Agama Islam, sebutlah madrasah dan pesantren sebagai contoh. Akan halnya mahasiswa PTU, mereka kebanyakan berasal dari kalangan sekolah umum yang belajar di PTU yang secara umum berbasis ilmu non-agama.

Berkenaan dengan proses pembelajaran PAI di PTU, peran Asosiasi Dosen Pendidikan Agama Islam se-Indonesia (ADPISI) terasa signifikan. Tantangan yang dihadapi para dosen PAI pada PTU tumbuh seiring perkembangan zaman dan kurikulum pembelajaran yang dijalankan.

Di sela kesibukannya, Dr. Andi Hadianto selaku Ketua Umum Adpisi bertutur banyak hal terkait Adpisi. Ia, misalnya, bercerita tentang nasib keberadaan dosen PAI pada PTU dengan nada masygul karena problem pengakuan. Ia mengibaratkan dosen PAI di PTU seperti seorang anak yang jauh dari induk aslinya, yakni Kementerian Agama. Namun begitu, ia juga menggaungkan optimisme terkait peran dan signifikansi Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum dan makna kerja sama dengan berbagai pihak strategis.

Wakil Rektor III pada Universitas Negeri Jakarta ini menyampaikan berbagai pendapatnya di Bekasi (8/8/2024) di sela acara Konsinyering Bantuan Organisasi Profesi/Kelompok Kerja Dosen PAI pada PTU. Wawancara dipandu oleh Saiful Maarif, Asesor SDM Aparatur Kemenag dan Kasubtim Bina Akademik Subdit PAI pada PTU Direktorat Pendidikan Agama Islam Ditjen Pendidikan Islam.

Assalamualaikum, Bapak. Bisa disampaikan kepada kami apa sih ADPISI itu?

Andi Hadianto:

Waalaikumsalam, Pak Saiful. Sesungguhnya ADPISI itu adalah singkatan dari Asosiasi Dosen Pendidikan Agama Islam se-Indonesia. Ini merupakan sebuah wadah organisasi profesi yang menghimpun para dosen pendidikan agama Islam yang mengajar di perguruan tinggi umum.

Baik, jadi konteksnya itu perguruan tinggi umum ya?

Andi Hadianto:

Iya, dia adalah pengampu mata kuliah pendidikan agama Islam di kampus-kampus umum.

Apa sebenarnya tujuan dibentuknya ADPISI ini, Pak?

Andi Hadianto:

Pertama, bahwa dosen-dosen PAI di perguruan tinggi umum itu seperti halnya seorang anak yang jauh dari induk aslinya. Induk aslinya seharusnya adalah Kementerian Agama atau perguruan tinggi agama. Namun, mereka berada di kampus umum yang notabene kemudian harus berbasis di berbagai prodi yang sebenarnya kadang-kadang tidak relate dengan bidang keilmuan mereka.

Itulah sebabnya dosen-dosen PAI tersebut merasa tidak punya ruang untuk mengekspresikan kemampuan akademik mereka. Karena di sebuah prodi yang bukan homebase-nya, mereka mungkin tidak punya kesempatan untuk meneliti, membimbing, atau menguji skripsi dan sebagainya.

Akhirnya, dosen-dosen PAI hanya seperti penceramah, mengajar agama terus selesai, dan tidak melakukan banyak tugas dosen yang termasuk dalam kategori tri-dharma perguruan tinggi. Pengalaman meneliti dan menulis mereka rendah, dan pengalaman pengabdian kepada masyarakat mungkin hanya sekedar ceramah dan khutbah.

Disitulah maka kita perlu membuat wadah untuk memfasilitasi teman-teman dosen PAI agar punya peluang mengembangkan kemampuan akademiknya, melakukan penelitian, pengabdian masyarakat, serta mendapatkan pembinaan dan bimbingan terkait dengan peningkatan kemampuan mereka mengajar dan pengetahuan konten keagamaan.

Di kampus umum, dosen agama itu hanya pelengkap penderita. Di prodi mereka mungkin tidak diperhatikan, dan tidak ada program pembinaan khusus untuk mereka. Maka di sinilah kita perlu wadah untuk saling membina dan memberikan masukan agar dosen-dosen PAI ini juga ikut berkembang dalam kemampuan tri-dharma perguruan tinggi.

Sejauh ini, apa yang sudah dilakukan oleh ADPISI?

Andi Hadianto:

Alhamdulillah, melalui ADPISI, dosen-dosen PAI sadar bahwa mereka sebenarnya punya hak yang sama dengan dosen-dosen di prodi-prodi lain. Melalui ADPISI, dosen PAI dikembangkan kemampuannya melalui program-program yang dikerjasamakan dengan Kemenag, bahkan kita juga mendampingi dosen-dosen agama untuk meminta slot khusus di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, untuk pengembangan kapasitas dosennya, kurikulumnya, dan buku ajarnya.

ADPISI lebih banyak berperan sebagai mediator antara dosen agama di satu sisi dan kementerian, baik Kementerian Pendidikan atau Kementerian Agama. Kementerian Pendidikan perlu slot khusus terkait wilayah keagamaan, dan Kementerian Agama juga perlu memperhatikan dosen-dosen agama di kampus umum, tidak hanya di kampus agama (PTKIN).

ADPISI ini berdiri sebagai inisiatif dosen-dosen sendiri yang membutuhkan forum untuk mengembangkan diri, tanpa campur tangan Kementerian. Dosen-dosen PAI sering diundang oleh Kementerian Agama untuk pembinaan, tapi tanpa organisasi yang mendukung, kegiatan tersebut sering hanya sekedar hit and run. Kementerian Pendidikan juga tidak peduli dengan keberadaan dosen-dosen agama, karena dianggap hanya mengajar saja. Maka, ADPISI didirikan oleh dosen-dosen agama yang ingin memiliki forum yang lebih kuat dan terorganisir.

Sejak kapan ADPISI ini didirikan dan ini sudah masa bakti kepengurusan keberapa?

Andi Hadianto:

ADPISI didirikan pada tahun 2008, atau sekitar 2006-2007, tetapi peresmiannya pada tahun 2008. Sekarang sudah memasuki kepengurusan yang keempat. Saya menjadi ketua umum di kepengurusan yang keempat ini.

Kalau kita lihat struktur kepengurusan dan perangkat yang mendukung, sejauh mana daya jangkau ADPISI ini? Apakah itu mencerminkan dosen-dosen agama dari seluruh perguruan tinggi umum di seluruh Indonesia atau hanya didominasi oleh kampus di Jakarta atau di Jawa?

Andi Hadianto:

Kepengurusan ADPISI mencerminkan dosen-dosen agama dari seluruh perguruan tinggi umum di seluruh Indonesia. Tidak hanya didominasi oleh kampus di Jakarta atau di Jawa, tetapi sudah sampai ke luar Jawa. Kami memiliki DPP dan kurang lebih 27 DPW di seluruh Indonesia yang berada di setiap provinsi.

Bolehkah tahu kira-kira apa visi dan misi dari ADPISI?

Andi Hadianto:

Visi ADPISI adalah menjadi organisasi profesi unggulan yang memberikan pelayanan untuk mengembangkan pendidikan agama Islam di perguruan tinggi umum, menciptakan kehidupan yang maju, damai, dan beradab. Misi ADPISI meliputi beberapa poin. Pertama, memajukan atau mengembangkan kapasitas dosen PAI, baik terkait dengan kemampuan pedagogis, profesional, dan kompetensi lainnya.

Kedua, mengembangkan kajian-kajian dan penelitian di bidang pendidikan agama Islam. Ketiga, melakukan kegiatan pengabdian yang berkontribusi bagi pengembangan pendidikan agama Islam di masyarakat, terutama masyarakat kampus, termasuk menciptakan kultur keagamaan yang kondusif. Keempat, membangun jejaring kerja sama dengan berbagai pihak untuk meningkatkan kualitas pendidikan agama Islam di perguruan tinggi umum.

Kalau menurut Pak Andi sendiri, apa isu-isu utama yang dihadapi oleh para dosen PAI di PTU?

Andi Hadianto:

Isu utama yang dihadapi oleh dosen PAI di kampus umum adalah pendangkalan pemahaman. Seharusnya, dosen PAI adalah alumni perguruan tinggi agama dengan background keagamaan yang mumpuni. Namun, karena mereka hanya mengajar capita selecta, kulit-kulit masalah keagamaan yang diajarkan hanya satu semester, dosen Pendidikan Agama Islam cenderung tidak pernah melakukan penggalian keilmuan lebih dalam.

Berbeda dengan dosen PAI di perguruan tinggi keagamaan (Islam) yang mendalami fikih dan harus mengembangkan pemahaman serta kajian ilmiah mereka. Di kampus umum, tidak ada tuntutan untuk melakukan penelitian atau pengabdian masyarakat menggunakan ilmu keagamaan yang mereka dalami, sehingga mereka hanya sekedar memberikan pengajaran seperti penceramah. Akibatnya, apa yang disampaikan para dosen itu selayaknya kaset lama diputar ulang.

Tantangan terbesar adalah menjaga pemahaman agama atau kompetensi profesional keagamaan di kondisi yang tidak mendukung mereka untuk mengembangkan kemampuan keagamaan mereka. Bisa jadi, kita berada dalam situasi “gunung es yang direndam air hangat”. Banyak dosen agama yang terpapar radikalisme karena tidak sempat membaca buku agama dan mengikuti lingkungannya.

Itu tantangan yang pertama. Tantangan yang kedua adalah kemampuan menerjemahkan konsep keagamaan dengan tuntutan sains dan teknologi. Bagaimana pemahaman doktrinal tadi mampu diterjemahkan secara praktis- aplikatif sehingga para mahasiswa itu mudah menerima, ini yang menjadi tantangan serius untuk kita. Kita terjebak pada situasi di mana saat kita mengajar para mahasiswa itu kita seperti mengajar di pesantren yang sebenarnya tidak diperlukan di kampus umum, misal pemahaman tentang nasakh-mansukh, kualitas hadis, dan semacamnya.

Tantangan ketiga adalah mengemas pengajaran pendidikan agama Islam menjadi hal yang siap diamalkan secara praktis oleh para mahasiswa tanpa harus kehilangan substansi ajaran Islam yag luhur dan mulia.

Tadi disampaikan bahwa dosen PAI sebagai pelengkap penderita, apakah itu artinya PAI juga menjadi sekedar pelengkap di kampus?

Andi Hadianto:

Dulu, PAI sempat memiliki SKS 4, kemudian berkurang menjadi 3, dan akhirnya menjadi 2. Ada pemikiran untuk menghapus PAI dan menggantinya dengan modul. Saat ini kita berada dalam sistem merdeka belajar. Kalau merdeka belajar, para mahasiswa bisa saja belajar agama secara mandiri di masjid dan para kiai, bahkan berkembang pemikiran bahwa kita belajar agama di kampus tidak secara spesifik, tapi secara universal.

ADPISI selalu mengeluarkan rekomendasi dan himbauan kepada pemerintah bahwa pembelajaran agama itu penting sebagai fondasi akhlak seorang ilmuwan. Kita tidak menginginkan generasi yang pintar secara ilmu namun kering secara moral. Agama harus menjadi landasan etika moral, bukan hanya sekedar modul.

Apa desain yang ditawarkan oleh ADPISI ke depannya?

Andi Hadianto:

Kami mengusulkan model-model pelatihan untuk pengembangan kompetensi dosen, termasuk pelatihan dalam memahami doktrin keagamaan secara mendalam dan aplikatif. Kami juga mengusulkan kurikulum pembelajaran agama yang fungsional dan aplikatif, serta buku pembelajaran agama yang kontekstual. Harapan kami adalah buku PAI tidak hanya menggunakan satu corak berpikir, tetapi mendialogkan berbagai konsep yang berkembang di tengah umat Islam agar mahasiswa dapat fleksibel dalam memahami doktrin sesuai situasi.

Para Dosen PAI itu masih membutuhkan berbagai pelatihan untuk mencerna doktrin keagamaan dengan tepat.

Kemenag memiliki concern yang tinggi terhadap moderasi beragama. Kira-kira apa kontribusi ADPISI dalam moderasi beragama?

Andi Hadianto:

ADPISI berkontribusi dalam moderasi beragama dengan menyusun kurikulum yang mengadopsi gagasan moderasi beragama dan mengembangkan buku pembelajaran yang mengadopsi moderasi beragama. Kami juga mendukung penggerak moderasi beragama di berbagai kampus dan pusat pengembangan karakter serta peradaban.

Dalam beberapa kesempatan, Anda terkesan menghindari diksi moderasi beragama di kampus perguruan tinggi umum. Apakah ada sensitivitas di sana?

Andi Hadianto:

Realitasnya memang kita menghadapi iklim kampus yang, katakanlah, nyinyir terhadap moderasi beragama. Kemenag pun mengalami beberapa kali pergeseran kebijakan, mulai dari islam rahmatan lil alamin dan sebagainya, padahal intinya ya di situ-situ juga. Maka bagi kita yang penting adalah pencapaian substansi, mau dinamakan apa saja tidak masalah. Kita bisa menamainya islam rahmatan lil alamin, moderasi beragama, islam berperadaban, dan lain-lain. Yang penting kita menggunakan indikator penggunaan rasio, cinta tanah air, menghargai perbedaan, dan anti kekerasan itu ada.

Apa harapan ADPISI terhadap buku PAI yang sedang disusun oleh Kementerian Agama?

Andi Hadianto:

Kami berharap buku PAI tersebut menarik dari segi tampilan, dengan huruf yang mudah dibaca dan kertas yang berkualitas. Buku tersebut harus merangsang siswa untuk menggali informasi dan mendialogkan berbagai konsep keagamaan, serta tidak hanya satu corak berpikir, tetapi mendialogkan berbagai perbedaan konsep yang ada di masyarakat.

Bagaimana prospek ADPISI ke depan?

Andi Hadianto:              

Alhamdulillah, melalui ADPISI, sekarang dosen-dosen PAI sudah mulai menguat dan berkembang karirnya. Mereka sudah mulai diakui di kampus-kampus tempat mereka berada. Dulu, jumlah dosen agama yang menjadi profesor bisa dihitung dengan jari. Misalnya, dari tahun 2008 hingga 2019, kita hanya memiliki sekitar empat profesor agama. Namun, mereka bukan guru besar di bidang PAI, melainkan di bidang lain karena mereka berada di homebase-nya yang bukan sebagai dosen PAI.

Sekarang, sudah mulai banyak dosen-dosen yang menjadi guru besar di bidang agama Islam di kampus. Kita juga sudah memiliki banyak doktor, yang dulu sangat sulit bagi dosen agama untuk melanjutkan studi karena kampusnya tidak mau membayar. Dosen agama dianggap tidak memberikan kontribusi untuk homebase-nya. Namun, kini penulisan jurnal sudah mulai difasilitasi. Kita punya konferensi nasional PAI (KONASPAI) untuk mewadahi tulisan dosen-dosen, termasuk prosiding dari dosen yang sebelumnya tidak terbiasa menulis. Situasi yang memaksa mereka hanya menjadi penceramah di kampusnya kini mulai berubah, dan sekarang mereka sudah mulai terlatih untuk menulis. Meskipun tulisan-tulisan mereka belum sempurna, ini adalah kemajuan karena sebelumnya mereka lebih dididik dengan kultur penceramah.

Dengan kontribusi ADPISI, kami yakin bahwa ke depan dosen-dosen agama akan lebih membutuhkan dukungan dari ADPISI untuk mencapai cita-cita mereka. Mereka yang ingin sertifikasi juga bisa terbantu, karena sekarang sudah banyak profesor yang saling merevieu berkas guru besar.

Baik, terakhir Pak, apa harapan Pak Andi terkait kerja sama dengan Kementerian Agama?

Andi Hadianto:

Kami berharap bahwa kerja sama ADPISI dengan Kementerian Agama bisa lebih merata dan dinikmati oleh sebanyak mungkin dosen PAI di seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Program-program ini sebaiknya tidak hanya dinikmati oleh dosen di Jakarta atau Bekasi, tetapi juga di luar Jawa. Kami berharap program-program ini didistribusikan ke DPW-DPW untuk menyelenggarakan kegiatan seperti pelatihan di wilayah barat, tengah, dan seterusnya. Ini penting untuk memastikan pemerataan, sehingga tidak terjadi penggelembungan kegiatan di satu wilayah sementara di tempat lain kurang mendapatkan perhatian.

Baik, terima kasih Pak Andi atas waktunya. Tidak terasa, setengah jam sudah berlalu. Terima kasih atas informasi yang disampaikan. Semoga bermanfaat. Sekali lagi, terima kasih Pak Andi. Saya akhiri. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Andi Hadianto:

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Terima kasih.

(Saiful Maarif dan Raden Wahid Ibrahim, tim media PAI)



Terkait