Metode Blended Learning, Bukan Pembelajaran Setengah Ikhlas

Illustrasi Foto (Direktorat PAI Kemenag)


Epon Maftuhah, M.Ag


GuruPAI di SMPN 2 Garut, Pembina Ekskul Jurnalistik, mengurusi Yayasan Binar Lestari Garut yang fokus pada perempuan dan literasi, mengurusi Komunitas literasi LITTERA Garut, dan Rumah baca SAGA di kampung sawah Lega (tempat saya tinggal). Pengurus TBM Kab.Garut, penulis freelance di media online dan offline. Sudah menulis 10 buku antologi bersama dan 6 buku pribadi.

Beberapa hari sebelum memasuki Tahun ajaran baru 2021/2022, pemerintah mengumumkan percobaan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) terbatas untuk kota/Kabupaten dengan katagori zona hijau. Bersyukur Garut ada di zona dominan hijau, sehingga PTM bisa diberlakukan.

Di SMPN 2 Garut tempat saya mengabdi, eforia belajar tatap muka mulai terasa. Jalur japri (jaringan pribadi) dari siswa atau orang tua siswa ke wali kelas menjadi jalur paling sibuk seperti halnya jalur ke tempat penjualan seragam sekolah, toko-toko alat tulis, tas dan sepatu di pusat kota. Mereka bertanya tentang banyak hal yang berkaitan dengan pelaksanaan Sekolah Tatap Muka.

Berkah tersendiri untuk para penjual yang berhubungan dengan “persekolahan”: jualan mereka laris manis. Banyak orang tua yang mengeluh karena anaknya tidak kebagian seragam, stok di toko habis terjual dalam dua hari semenjak bupati mengumumkan PTM terbatas. Pengumuman resmi tersebut disebar secara berantai melalui Whatsapp grup kepala sekolah, lalu kepala sekolah menindaklanjutinya dengan memfoward kepada para guru dan staf tata laksana.

Para guru meneruskannya kepada para orang tua siswa. Para orang tua siswa sigap menyiapkan segala keperluan sekolah tersebut. Bersyukur bagi yang biayanya tersedia. Namun, bagi yang tidak ada, terdapat kepahitan tersendiri. Dalam hal ini pihak sekolah bisa memahami bahwa yang penting hadir ke sekolah dengan prokes ketat dan dalam kondisi sehat. Adapun masalah seragam, sepatu, rambut dan aturan super ketat lainnya dilakukan secara bertahap.

Betapa semua pihak telah lama merindukan pembelajaran tatap muka. Para driver on line berseri-seri, para penjual jajanan sekolah wajahnya mulai sumringah. Para siswa dan orang tua bersuka cita. “Apa kabar dunia, tak sabar menunggu besok.” Kira-kira demikian status di Instagram, SW dan medsos lainnya dengan foto seragam lengkap digantung di hanger dan sepatu baru.

Bagaimana dengan para guru? Jujur, rasanya campur aduk. Di satu sisi berbahagia karena akan bertatap muka dengan peserta didik yang selama ini hanya bertatap maya lewat Google Meet atau zoom meeting. Sisi lainnya, guru harus menyiapkan dua metode pembelajaran sekaligus. PTM terbatas tidak memungkinkan para siswa hadir berbarengan di dalam kelas dalam satu waktu, jadinya dibagi dua. Setengah kelas siswa belajar online di rumah, setengahnya lagi hadir di kelas. Satu minggu satu kali mereka bergantian antara PTM dan PJJ (pemebelajaran Jarak Jauh).

PTM dan ruang hampa

Hampir dua tahun bukan waktu yang sebentar untuk belajar secara daring. Kita seakan terkungkung dalam ruang hampa udara. Terbata-bata di awal saya belajar IT, khususnya dalam hal platform pembelajaran. Mau tidak mau, dalam masa pandemik yang menggusur pembelajaran di sekolah ke ruang-ruang maya, hal tersebut memaksa para guru belajar otodidak untuk mencoba berbagai LMS (learning method system). Platform pembelajaran yang efektif efisien dan user friendly serta tidak membuat bosan guru juga siswa.

Sebulan dua bulan masih oke lah. Akan tetapi, memasuki kurun hampir dua tahun, saya mati gaya. Terlebih, saya sebagai guru PABP yang di dalamnya ada materi yang mengharuskan praktek. Tugas memberikan penilaian dan menilai sikap merupakan kesulitan lain yang saya hadapi. Pengumuman PTM menjadi angin segar sekaligus pandangan nanar karena dua metode harus kami jalani: 50 persen PTM 50 persen PJJ. Menurut saya, dalam situasi transisi ini metode Blended Learning menjadi solusinya.

Blended Learning sebagai pilihan

Apa itu Blended learning? Model Blended Learning pada dasarnya merupakan gabungan keunggulan pembelajaran yang dilakukan secara tatap-muka dan secara virtual.

Menurut Semler (2005) “Blended learning combines the best aspects of online learning, structured face-to-face activities, and real world practice. Online learning systems, classroom training, and on-the-job experience have major drawbacks by themselves. The blended learning approach uses the strengths of each to counter the others’ weaknesses.”

Blended learning adalah sebuah kemudahan pembelajaran yang menggabungkan berbagai cara penyampaian, model pengajaran, dan gaya pembelajaran, memperkenalkan berbagai pilihan media dialog antara guru dengan siswa. Blended learning juga sebagai sebuah kombinasi pengajaran langsung (face-to-face) dan pengajaran online, tapi lebih daripada itu sebagai elemen dari interaksi sosial.

Blended learning merupakan pembelajaran yang didukung oleh kombinasi efektif dari cara penyampaian, cara mengajar, dan gaya pembelajaran yang berbeda. Dalam Blended learning ditemukan komunikasi terbuka di antara seluruh bagian yang terlibat dengan pembelajaran.

Saya menggunakan metode Blended learning ini karena berbagai alasan. Pertama, adanya interaksi langsung antara guru dan siswa dalam PTM; bagaimana antusiasme mereka belajar, termasuk siapa yang aktif dan kurang aktif. Kedua, memberikan materi/tugas secara daring tetapi pembahasan materi bisa dilakukan secara luring. Ketiga, bisa langsung mengecek kehadiran siswa di dalam kelas. Keempat, mengevaluasi pengerjaan dan pengumpulan tugas yang diberikan secara daring sehingga tugas tidak menumpuk dan siswa termotivasi untuk segera mengerjakannya. Kelima, mempermudah proses pembelajaran sehingga siswa lebih mudah memahami materi pelajaran. Keenam, praktek beberapa materi lebih mudah karena bersentuhan langsung dengan siswa. Mudah untuk memberi contoh dan membetulkan gerakan atau cara yang salah. Ketujuh, ada emosi yang terjalin karena guru bertemu langsung dengan para siswa.

Metode Blended learning dan tantangan keikhlasan

Dalam pelaksanaan Blended learning, Saya memberikan materi dan tugas melalui Google Classroom untuk seluruh kelas yang diampu. Topik dan tenggat waktu diatur pula. Siswa bisa menanyakan hal yang kurang difahami lewat kolom komentar di forum atau komentar pribadi. Untuk lebih jelas bisa ditanyakan langsung ketika Tatap muka. Atau saya biasanya memancing apa yang tidak mereka fahami dari materi tersebut dengan pertanyaan umpan balik.

Dari hal tersebut bisa terlihat sub materi mana yang belum mereka fahami dan ketika PTM semua itu dijelaskan walaupun ketika tatap muka mereka tidak bertanya. Jujur, di awal-awal PTM ada kekakuan yang saya rasakan dari para siswa. Hal tersebut wajar karena hampir dua tahun mereka di rumah; dengan teman-teman tidak kenal, dengan guru-gurupun bisa jadi baru bertemu saat itu. Maka di awal pertemuan tatap muka saya biasanya ada games kemudian sedikit motivasi untuk memecah kebekuan dan membangkitkan semngat mereka untuk belajar.

Tantangan yang saya hadapi dalam pelaksanaan Blended learning adalah pembagian waktu posting di GCR (Google Classroom untuk yang PJJ) dan penyiapan metode tatap muka supaya menarik dan efektif karena waktu yang diberikan hanya 20 menit per satu jam pelajaran. Belum lagi pelatihan/webinar yang seperti PPKM terus diperpanjang, dengan tugas yang berjubel setiap sesi.

Ditambah berangkat pagi setiap hari sampai dzuhur dari senin-Jum’at menjadi kesibukan yang ada rasa lelah-lelahnya. karena tubuh belum beradaptasi untuk beraktivitas padat secara fisik di luar rumah. Menyiapkan materi/tugas untuk diposting dan memeriksa tugas di GCR serta dituntut keprimaan fisik ketika mengajar tatap muka dengan para siswa pada PTM adalah tuntutan yang tidak bisa ditawar.

Guru mau tidak mau dihadapan para siswa harus tampil all out, apapun yang terjadi di belakang. Bukankah guru sejatinya menjadi sosok yang digugu dan ditiru? Keluhan lelah, mager, hati tidak ikhlas dengan dobel pekerjaan seperti itu tak cukup waktu dan kebingungan tentang metode apa yang harus digunakan supaya siswa termotivasi lebih untuk belajar, cukup bergema di dada saja. Diredam dalam-dalam.

Metode Blended Learning menjadi sebuah keniscayaan untuk dilaksanakan di zaman teknologi seperti ini apalagi di SMPN 2 Garut sebagai sekolah Penggerak. Pemanfaatan teknologi merupakan bagian dari kodrat zaman yang harus terus ditingkatkan dan diberi ruang sebagaimana guru menghargai kodrat alam para siswa. Blended learning akan memberikan kesempatan yang terbaik untuk belajar dari kelas transisi ke e-learning atau sebaliknya. Blended learning melibatkan kelas (atau tatap muka) dan belajar online. Metode ini sangat efektif untuk menambah efisiensi kelas instruksi dan memungkinkan peningkatan diskusi atau meninjau informasi di luar ruang kelas.

Dikutip dari kanal Youtube Uwes Anis Chaeruman, seorang pakar pendidikan UNJ, mengungkapkan bahwa adanya metode pembelajaran blended learning ini bisa saling melengkapi satu sama lain.

Uwes menjelaskan, “Pembelajaran ini akan saling melengkapi satu sama lain sehingga bisa memperbaiki sistem dan metode pendidikan di Indonesia yang lebih baik.” Selain itu, “Adanya pembelajaran blended learning ini sebenarnya digunakan untuk saling memperbaiki fungsi pembelajaran secara offline dan online, sehingga keduanya bisa saling melengkapi”.

Teknologi secanggih apapun tidak akan mampu menggantikan peran guru sebagai pendidik. Guru sejatinya adalah figur yang memberi keteladanan, mengayomi, dan membimbing siswa serta memberi motivasi agar peserta didik mampu mencari solusi atas permasalahan yang dia hadapi. Pada gilirannya nanti, proses tersebut diharapkan mampu memberi manfaat untuk banyak orang. Bukankah manusia yang yang paling baik adalah manusia yang banyak memberi manfaat untuk manusia lainnya?


Penyelia: Hery Zakaria Anshari

Penyiap bahan: Arief Hilaluzzaman



Terkait