Merawat Keberagaman di Kota Manado

Illustrasi Foto (Direktorat PAI Kemenag)

Manado (Dit. PAI) -- Torang semua basodara merupakan semboyan bagi masyarakat Manado dalam menghargai perbedaan suku, ras dan agama. Hal tersebut diungkapkan oleh Nasri Sakamole selaku Kepala Bidang (Kabid) Pendidikan Islam Kantor Wilayah Kementerian Agama Propinsi Sulawesi Utara saat ditemui di ruang kerjanya (28/05/2021). 

Nasri menjelaskan bahwa kultur masyarakat Manado sangat terbuka dengan perbedaan dan ikatan saudaranya sangat tinggi sehingga kebiasaan sosial masyarakat dibangun tanpa terikat simpul budaya, simpul agama dan simpul adat. “Manado mendidik kita semua bersaudara, jangan lihat siapa dan darimana,” jelas Nasri.

Menurutnya, kebersamaan masyarakat dibangun melalui rasa persaudaraan yang tinggi bukan berdasarkan golongan-golongan tertentu. “Secara sosial kita harus berbuat baik kepada sesama dan menjaga Manado ini sebagai milik kita bersama,” ungkapnya.

Dalam menyikapi paham intoleran yang terjadi, Nasri menyampaikan bahwa paham intoleran khususnya pada guru agama perlu ditinjau secara mendalam apa yang mempengaruhinya, karena dengan menelaah secara mendalam seseorang dapat bersikap bijak dan tidak serta merta menvonis guru itu intoleran. “Pertama, kita harus mengetahui dulu sumber timbulnya pemahaman agama yang disebut radikal dan ekstrim, kita lihat dulu sumbernya darimana,” jelas Nasri.

Lebih lanjut, Nasri menjelaskan terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi paham keagamaan seorang pendidik. Pertama faktor keluarga, didalam lingkungan keluarga cara memahami agama bisa jadi berbeda dengan pemahaman agama secara umum sehingga timbul pemahaman sangat eksklusif. “Di dalam keluarga, cara memahami agama berbeda-beda atau bisa jadi sangat tertutup, sehingga pemahaman agama yang terbangun di situ berbeda dengan pemahaman agama sebagaimana dipahami oleh orang banyak. Jadi memang itu yang kita deteksi terlebih dulu sumbernya, sampai kita mengetahui seseorang itu bisa ekstrem atau radikal itu dari mana asalnya,” paparnya.

Kedua faktor pendidikan, guru PAI adalah produk dari perguruan tinggi sehingga perlu ditelaah secara komprehensif pada aspek kurikulum pembelajarannya. “Perlu dilihat juga kurikulum pembelajaran di perguruan tinggi yang berkaitan dengan kurikulum agama. Jangan-jangan justru kurikulumnya, yang lalu difasilitasi juga oleh para dosen. Jadi memang harus dilihat secara komprehensif Apa yang menjadi penyebab paham intoleran” lanjut Nasri.

Faktor ketiga adalah lingkungan, adanya keterkaitan antara faktor lingkungan dan pendidikan berdasarkan latar belakang pendidikan guru itu sendiri. “Bisa jadi saya kuliah di Gorontalo, Ibu Putri kuliah di Makassar, nanti ada yang lain kuliah di jawa. Jadi kita kembali ke sini (Manado) adalah produk pendidikan yang kita peroleh di perguruan tinggi yang berbeda,” jelasnya.

Nasri berharap agar langkah preventif paham intoleran dapat dilakukan melalui penyediaan instrumen yang diselenggarakan berdasarkan kerjasama antara Kementerian Agama dan Pemerintah Daerah. “Pada saat kita merekrut Guru PAI ada instrumen yang disiapkan, sehingga terpetakan paham yang intoleran. Jadi adanya sinergitas antara Kementerian Agama dengan Pemda yang menyepakati kerjasama untuk ada instrumen,” paparnya. (Susilowati Moko/Miftah)



Terkait