Moderasi Beragama Cegah Indoktrinasi Paham Ekstrem di Perguruan Tinggi Umum

Illustrasi Foto (Direktorat PAI Kemenag)

Tangerang (Direktorat PAI) -- Dosen adalah aktor akademis yang super merdeka karena independensinya. Selain mencerminkan kebebasan akademik, hal ini juga dapat menjadi celah masuknya paham ekstrem pada oknum dosen. Untuk mencegah penyebaran doktrinasi paham ekstrem di perguruan tinggi inilah perlu Moderasi Beragama (MB).

Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, Prof. Suyitno, mengungkapkan hal tersebut kala menyampaikan materi melalui layar virtual pada Training of Trainers Penguatan MB dan Pelatihan Penggerak Penguatan MB di Tangerang, Senin (24/7/2023).

Merujuk hasil riset Setara Institute, Suyitno menunjukkan adanya sejumlah perguruan tinggi yang mahasiswanya sudah terpapar radikalisme. “Terlepas data tersebut dapat diperdebatkan, namun ini bisa menjadi warning bagi warga kampus. Hasil riset Badan Litbang dan Diklat tahun 2022 pun menunjukkan kecenderungan yang sama. Untuk itulah, upaya memperkuat MB di kalangan perguruan tinggi menjadi penting dan tidak boleh berhenti,” ungkapnya.

“Kita harus memastikan output pendidikan perguruan tinggi adalah sarjana yang moderat, yaitu yang memiliki komitmen kebangsaan, anti kekerasan, toleran, dan menghormati budaya lokal. Saya perlu meng-higlight komitmen kebangsaan sebagai salah satu indikator MB. Kampus harus menjadi pewaris peninggalan founding fathers. Founding fathers telah membangun sendi-sendi kebangsaan dengan mengutamakan kepentingan persatuan dan kebersamaan,” tegas Guru Besar UIN Raden Fatah Palembang ini.

“Kampus, sebagai komunitas akademis, paling mampu memahami pesan-pesan sejarah yang ditinggalkan founding fathers yang dapat diorientasikan untuk memajukan bangsa ke depan. Bila kampus saja gagal menangkap pesan warisan founding fathers, apalagi yang lain. Karena itu, kampus harus terdepan dalam menjaga komitmen kebangsaan,” sambung Suyitno.

Merespons realitas terkini, Suyitno mengingatkan dosen dan mahasiswa yang hadir akan bahaya politik identitas. “Penggunaan identitas itu niscaya untuk membedakan satu dan lainnya. Tapi ketika identitas itu dipolitisasi untuk meraih sentimen elektoral, pada saat itulah terjadi segregasi berbasis identitas yang dapat menimbulkan konflik antarpenyandang identitas yang berbeda. Politik identitas pada gilirannya akan menimbulkan perpecahan antaranak bangsa,” terang mantan Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam ini.

“Saat ini sudah masuk tahun politik. Mari kita saling menghargai pilihan politik masing-masing. Pemilu hanyalah ritual 5 tahunan, sedangkan kehidupan berbangsa dan bernegara berlangsung selamanya. Chairil Anwar menyebutkan, aku ingin hidup seribu tahun lagi. Jangan sampai peristiwa politik 5 tahunan merusak maqashid al-bilad (tujuan bernegara) yang akan berlangsung selamanya, sampai hari kiamat,” pungkas Kaban Suyitno. (Efa/AF/bas/sri/TMPAI)



Terkait