Stafsus Wapres Perkuat Nilai Moderasi Beragama di Perguruan Tinggi Umum

Illustrasi Foto (Direktorat PAI Kemenag)

Malang (Dit. PAI) – Staf Khusus Wakil Presiden Republik Indonesia Masykuri Abdillah memberikan penguatan materi moderasi beragama dihadapan mahasiswa dan dosen PAI pada Perguruan Tinggi Umum (PTU). Sebanyak 220 peserta yang terdiri dari 149 mahasiswa dan 71 dosen PAI yang berasal dari 71 kampus mengikuti kegiatan tersebut.

Melalui kegiatan Basic Leadership Training Moderasi Beragama bagi Mahasiswa Islam pada Perguruan Tinggi Umum (PTU) dan Pengukuhan Pergerakan Mahasiswa Moderasi Beragama dan Bela Negara di PTU, Masykuri menjabarkan implementasi moderasi beragama didukung penuh oleh negara sehingga tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020-2024.

“Walaupun pada sebelumnya, Kementerian Agama telah mendiseminasikan moderasi beragama pada tahun 2017 namun pelaksanaan kebijakan tersebut hanya pada lingkup Kementerian Agama. Atas usulan Wakil Presiden RI, moderasi beragama masuk dalam RPJMN 2020-2024 sehingga menjadi kewajiban seluruh Kementerian dan Lembaga di Indonesia untuk mengimplementasikannya,” jelas Masykuri di Malang, kamis (28/07/2022)

Menurut Masykuri persoalan berkembangnya paham intoleran di lingkungan kampus dikarenakan keterbatasan tenaga Dosen PAI di lingkungan kampus dan kurangnya pemahaman agama dari dosen yang mengajarkan Pendidikan Agama Islam di PTU.

“Sebagian dosen tidak memiliki latar belakang kajian Islam, karena jumlah dosen terbatas. Ada kampus yang tidak mau mengangkat dosen PAI karena mata kuliah PAI dianggap hanya satu mata kuliah selama satu semester dan terdiri dari 2 s.d. 3 SKS, dan kemudian diberikan kepada dosen yang dianggap mengerti agama, ini juga menjadi persoalan,” jelas Guru Besar Fikih Siyasah UIN Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.

Lebih lanjut, Masykuri mengatakan akses materi paham radikal dan intoleran melalui buku-buku di perguruan tinggi umum sangat bebas, sehingga upaya preventif terhadap paham tersebut belum optimal.

“Empat tahun lalu, setelah saya habis menguji doktor di salah satu Universitas, saya sholat duhur kemudian mampir di depan ada toko buku. Saya baca dan kaget, buku yang pendiri Al-Qaedah Namanya Abdullah Azzam tentang jihad itu banyak sekali disitu, ini hampir separuhnya. Tidak ada orang yang mengingatkan itu,” lanjutnya.

Menurut Masykuri perlu adanya penangkal dari akses materi radikal dan intoleran sebagaimana yang diilakukan Perguruan Tinggi Agama. “Kalau Perguruan Tinggi Agama ketika ada ide-ide yang keras langsung di counter secara akademik, sehingga di Perguruan Tinggi Agama tidak terlalu berkembang,” tegasnya.

Selain itu, Masykuri menjabarkan Perkembangan paham intoleran bagi mahasiswa dilakukan melalui kegiatan ektra kampus yang bermuara di lingkungan masjid kampus. “Penyebaran paham radikal atau intoleran di Perguruan Tinggi Umum melalui unit kegiatan mahasiswa terutama lembaga dakwah dan masjid kampus,” terangnya.

Masykuri berharap pimpinan kampus mengambil Tindakan tegas dalam melakukan restrukturisasi unit kegiatan mahasiswa untuk bersifat inklusif agar nilai moderasi beragama dapat diejawantahkan. “Pimpinan Perguruan tinggi seharusnya melakukan restrukturisasi UKM seperti lembaga dakwah kampus agar organisasi ini bersifat inklusif. Jika ada yang menolak restrukturisasi, UKM eksklusif ini bisa dibubarkan,” pungkasnya.



Terkait