Melihat perpaduan lokalitas dan millenial di lomba kreasi busana pentas pai

Illustrasi Foto (Direktorat PAI Kemenag)
Makassar (Kemenag) --- Salah satu cabang lomba Pekan Keterampilan dan Seni Pendidikan Agama Islam (Pentas PAI) adalah kreasi busana. Para siswa diminta mendesain dan membuat busana yang diperagakan oleh generasi millenial.  Direktur Pendidikan Agama Islam (PAI) Rohmat Mulyana, mengaku takjub dengan karya peserta lomba kreasi busana. Menurutnya, selain bagus, kreasi busana yang dihasilkan mampu menampilkan unsur karakter budaya lokal tanpa menghilangkan desain busana muslimah yang millenial. “Betapa hebat anak-anak (peserta lomba) dalam mendesain dan mengkreasikan ide ke dalam bentuk busana muslimah. Ini menjadi bukti bahwa anak-anak kita memiliki bakat yang harus terus dikembangkan,” ujar Rohmat di lokasi perlombaan di Makasar, Sabtu (12/10). Menurut Rohmat, unsur budaya lokal tampak dalam penggunaan kain batik dengan motif daerah masing-masing. Tim Jabar misalnya, menggunakan motif batik megamendung yang berasal dari daerah cirebonan. Untuk tim Banten, ada motif yang dipopulerkan oleh suku Baduy. Sehingga, dengan melihat motif batiknya, orang sudah bisa mengetahui asal daerahnya.  "Kreasi busana yang dihasilkan dari segi mode dan perpaduan warna juga kekinian. Sehingga, ketika dipake oleh model yang notabene anak-anak remaja, lebih terlihat elegan dan kekinian," jelasnya. Rohmat berharap, ke depan kreasi busana yang dikembangkan oleh anak-anak peserta Pentas PAI semakin lebih baik. “Semoga ke depan semakin lebih berkembang dan lahir desainer-desainer dari Pentas PAI,” ujarnya. Salah satu juri Lomba Kreasi Busana Pentas PAI, Anggiasari Mawardi, juga merasa kagum dengan karya-karya para peserta. Menurutnya, memasuki tahun ke-4 untuk lomba kreasi busana Pentas PAI, desain peserta semakin lebih baik. “Dari tahun ke tahun, desainnya semakin lebih baik, lebih keren. Saya kagum dengan karya-karya peserta, mode-modenya lebih kekinian tanpa menghilangkan unsur syari,” tutur anggota Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI). Lebih lanjut wanita yang biasa disapa Anggi menjelaskan kriteria penilaian dewan juri. Menurutnya, dalam setiap desain, perancang busana atau pengkreasi busana tidak boleh melupakan sketsa gambar, karena hal ini menentukan seperti apa karya yang akan dibuat. “Selanjutnya adalah, penggunaan bahan. Bahan yang digunakan apakah semuanya lokal atau impor. Kemudian ketika sudah jadi, saat dipake oleh model, enak dilihat atau tidak, unsur kombinasi warna juga menjadi pertimbangan juri dalam menilai,” terangnya. “Penilaian lain adalah kemampuan presentasi di depan publik dan harga jual karya yang sudah jadi,” lanjutnya. Menurut Anggi, yang tidak kalah penting adalah unsur budaya lokal yang diangkat oleh masing-masing peserta. “Peserta harus mampu mengangkat unsur budaya lokal dalam setiap karyanya, tanpa menghilangkan unsur syari pakaian muslimah,” pungkasnya.

Terkait