Pengantar redaksi – Tim Redaksi PAI menurunkan format wawancara untuk mendalami informasi seputar tema yang menjadi kebijakan Direktorat PAI. Harapannya, format ini mampu menggali hikmah atas tema yang dimaksud dan menumbuhkan inspirasi untuk membangun langkah yang lebih baik. Untuk edisi awal, kami menyajikan wawancara dengan MGMP PAI SMP Provinsi Banten dan Dewan Redaksi Jurnal Tsiqoh. Wawancara dipandu oleh Hery Zakaria Anshari (HZA) dengan responden Ketua MGMP PAI SMP Provinsi Banten Aat Jumiat (At) dan Ketua Dewan Redaksi Jurnal Tsiqoh Sholikhatun (Sh)
HZA: Bisa diceritakan bagaimana awal mula respons tentang rencana penyusunan jurnal ini?
At: Yang pertama sekali merepons informasi mengenai bantuan penyusunan jurnal MGMP PAI SMP ini adalah saya selaku Ketua MGMP PAI SMP dan Ibu Sholikhatun yang nantinya menjadi Ketua Dewan Redaksi. Pada awalnya kami bingung dengan ide Jurnal tersebut, karena ini merupakan sesuatu yang relatif baru bagi kami. Mengatasi kebingungan tersebut, saya mengintensifkan pembicaraan dengan teman-teman pengurus MGMP lain untuk bersama merespons informasi tersebut dan memeriksa sejauh mana kesiapan kami. Sebelumnya, karena masih dalam kondisi pandemi, secara rutin kebetulan kami terus mengadakan pertemuan secara virtual dengan sesama pengurus. Dari pertemuan pra dan setelah adanya kesempatan penyusunan jurnal tersebut, kami melihat teman-teman di bidang keprofesian sangat bersemangat meresponsnya. Jadi, kami segera membentuk panitia awal. Panitia ini terbentuk sebelum acara Dit PAI di Bandung (tentang sosialisasi Jurnal). Dengan demikian, sebelum adanya undangan dari Kementerian Agama mengenai Jurnal ini, kami telah membentuk panitia atau tim sebagai bagian dari program kerja kami di MGMP PAI SMP Banten.
HZA: Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membentuk tim atau panitia awal itu?
At: Karena kami merasa komunikasi antarpengurus MGMP cukup baik dan kami memiliki semangat yang sama untuk mengembangkan PAI SMP di Banten sejauh mungkin yang kami mampu, koordinasi dan interaksi ide terasa tidak terlalu sulit. Mengenai waktu, kami membentuknya sekitar 2 minggu.
HZA: Tanpa bantuan dari Kemenag, bayangan mengenai terwujudnya Jurnal itu kira-kira akan seperti apa?
Sh: Kami memang memiliki program kerja penyusunan jurnal. Katakanlah itu sebagai niat, belum tergambar mau seperti apa. Pada pengujung 2019, Raker MGMP kami laksanakan dengan sisa dana Pentas PAI 2019. Setelah itu, langsung terhalang Covid. Pada raker tersebut, ide tentang Jurnal itu sudah kita sepakati.
HZA: Memulai pekerjaan dari nol tentu sebuah tantangan tersendiri, apalagi ini adalah menyusun jurnal. Bagaimana pengalaman Bapak- Ibu menjalani hal tersebut hingga menemukan penulis untuk mengisi Tsiqoh?
Sh: Dari kaca mata dewan redaksi, kami harus akui kami memang berangkat dari nol. Itulah kenapa kami sangat antusias mengikuti acara di Bandung. Secara personal, kami merasa memiliki minat yang cukup tinggi terhadap dunia penulisan, hanya memang belum terasah dengan baik. Nah, forum di Bandung itulah yang kami maksimalkan untuk menggali potensi dan kemampuan literasi. Sebagai guru, penulisan karya ilmiah adalah bagian dari profesionalisme seorang guru. Saya yakin, bagi para guru, mengenai kemampuan pedagogi pasti semua bisa. Kemampuan menulis inilah yangmenjadi tantangan bersama. Itulah mengapa kami merespons dengan antusias tawaran dari Kemenag. Sepulang dari Bandung, materi-materi yang ada saya share ke teman-teman yang jujur juga masih kebingungan. Saya tekankan ke mereka, pelajari dan pakai saja template yang ada. Kami belum menyinggung mengenai konten sama sekali, bagaimana kualitasnya. Yang penting ada dulu. Editingnya tidak akan ketat dulu karana ketidakpercayaan diri. Kami mengembangkan semangat untuk sama-sama belajar. Dalam semangat demikian, kami makin mengintensifkan dialog dengan ketua MGMP Kabupaten/kota, menugaskan mereka untuk menyetor artikel. Pada edisi pertama, artikel yang ada malah surplus.
HZA: Bagaimana respons Kantor Kemenag Propinsi mengenai rencana penerbitan jurnal ini?
At: kami melakukan koordinasi yang terus menerus dengan pihak Kanwil, misalnya untuk proses upload di Silaba. Hal lainnya, koordinasi itu penting karena mereka terkait dengan E-ISSN dan P-ISSN. SK dari mereka dibutuhkan untuk pengajuan ijin tersebut, sayangnya kami memakai SK MGMP sebelumnya. Kondisi demikian cukup memakan waktu jadinya.
Sh: Kami harus meminta waktu dan kesempatan Pak Kabid untuk meminta tanda tangan beliau. Dari awal Pak Kabid memberikan dukungan yang sangat positif dan intensif terkait Jurnal ini. Dalam kondisi demikian, kami tetap berusaha mengumpulkan naskah dari para penulis, sembari menunggu terbentuknya SK Tim Dewan Redaksi. Mungkin ini langkah terbalik ya, tapi apa boleh buat dalam kondisi yang harus segera bertindak seperti ini. Asumsi kami, yang penting ada dulu naskahnya, toh tim redaksi nanti akan melakukan penyaringan dan sebagainya. 5 naskah dan kover sudah kita siapkan untuk memenuhi sayarat perijinan dari LIPI, termasuk juga surat permohonan. Secara umum, langkah yang kami tempuh adalah Koordinasi (1), penyusunan proposal (2), penyusunan SK Dewan Redaksi (3), pengumpulan naskah (4), komunikasi dengan para editor dan reviewer secara informal (5).
HZA: Berapa lama proses permohonan izin ISSNnya?
At dan Sh: dari pengajuan hingga mendapatkannya butuh waktu kurang lebih seminggu
HZA: Bagaimana mengatur pola kerja tim redaksi di tengah kondisi pendemi, seperti apa mekanismenya?
Sh: Sesuai ISSN, segala sesatunya harusnya diupload di web. Hal ini belum bisa dilakukan karena kendala SDM dan pengetahuan kami. Dalam situasi demikian, saya dan Pak Tolkhah tetap berkomunikasi dengan MGMP Kab/Kota untuk pengadaan naskahnya. Untuk mengantisipasi kondisi yang di luar dugaan, misalnya tidak ada naskah yang masuk padahal tenggat sudah menunggu, kami di dewan redaksi membuat mekanisme dan target sendiri. Saya, misalnya, ditargetkan menulis di edisi pertama, demikian juga P Aat dan P Tolkhah. Revisi naskah belum kita lakukan secara maksimal, edisi pertama belum sempat memakai reviewer karena para reviewernya sangat sibuk. Solusinya, untuk edisi pertama kami memakai peer review saja, jadi kami melakukan editing antarkami saja.
HZA: Berapa kali tahapan editing naskah edisi pertama?
At: Dilakukan sekitar empat orang dan fokus pada template jurnal, kami melakukannya sebanyak tiga kali. Kami menjadikan materi dari Bandung sebagai panduan bersama.
HZA: Sebelum terbit, bagaimana respons teman-teman penulis?
Sh: Alhamdulillah responsnya sangat bagus. Banyak di antara mereka yang selalu bertanya, kapan jurnal dilaunching, karena mereka berkepentingan dengan angka kredit mereka. Jadi kami bersyukur Jurnal Tsiqoh sudah dipakai dan dimanfaatkan oleh GPAI dan para penulisnya. Dalam kondisi demikian, sekali lagi kami mengharapkan pelatihan bagi para GPAI di lapangan.
At: Kami berharap ke depannya kita bisa melakukan seminar untuk Jurnal ini
HZA: Sewaktu launching Tsiqoh, terlihat antusiasme para peserta acara. Sebenarnya bagaimana respons teman-teman GPAI?
Sh: Para penulis dan GPAI sangat antusias dengan keberadaan jurnal ini. Bahkan salah satu pengawas SMK sampai menyampaikan pujiannya, “wah enak sekali ya, SMP memilki jurnal PAI, ada wadah dan fasilitasi dari Kemenag.”
HZA: bagaimana tanggapan para kasi di Kab/Kota?
Sh: Jujur kami lihat ide dan karya ini belum merembes ke bawah. Ini harus kita dorong dengan komunikasi dan pelatihan terkait. Kita sadar upaya ini berada dalam konteks membangun ekosistem yang baik dan bermutu untuk sebuah jurnal. Kami berpikir dan berharap, keikutsertaan jurnal ini nantinya akan menjadi sesuatu yang sifatnya saling berebut untuk terlibat dan berpartisipasi.
At: kami meyakini, jika sudah mebesar, jurnal ini akan menjadi sesuatu yang sifatnya menjual tapi bukan berupa ranah komersil. Ini penting untuk membangun kemandirian jurnal itu sendiri. Kami yakin ini bukan hal yang sulit.
HZA: Tentang Vol 2 edisi 2, bagaimana perjalanan penyusunannya?
Sh:Pada edisi ke-2 kami merasa tantangannya lebih berat karena warning dari Pak Kasubdit agar mutu jurnal lebih ditingkatkan dan ketersediaan naskah itu sendiri
Apa Rekomendasi Bapak/Ibu untuk penyusunan Tsiqoh ke depannya:
At:Kami merencakan ketemu dengan semua reviewer untuk pemantapan tugas dan jaminan konten Tsiqoh. Dengan ketemu, saya yakin kita bisa meningkatkan kualitas Tsiqoh secara umum. Kami juga perlu lebih jeli membaca peluang dan kesempatan pengembangan Jurnal di semua lini.
Sh: Dari kacamata Tim Redaksi, kami harus lebih membuat solid tim ini. Hal demikian tidak akan mudah karena chemistry yang dibangun berlandaskan kegiatan yang sifatnya pro bono (keikhlasan, tanpa bayaran). Di edisi ke-2 kami sudah melalui kerja tim reviewer dan itu kami sampaikan ke para penulis.
HZAKepada para calon penulis, apa yang ingin Bapak/Ibu sampikan agar penulisan Jurnal Tsiqoh makin berkualitas?
At: Ingin saya, sebelum menulis, kita adakan forum pelatihan menulis untuk meningkatkan kualitas tulisan mereka. Makin banyak yang terlibat, tentu saja makin baik. Harapannya, keberadaan Jurnal Tsiqoh bisa mambantu keprofesian mereka dan minat literasi. Dalam Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) para guru, kemampuan menulis adalah bagian dari tugas keprosfesian mereka, namun sejauh ini tidak dilaksanakan.
Terakhir, masih banyak Jurnal baru MGMP PAI SMP yang akan lahir. Apa kiat-kiat yang bisa disampaikan agar semangat dan kemauan menyusun Jurnal menjadi sebuah semangat bersama?
Sh: Menyusun Jurnal memang membutuhkan upaya yang tidak mudah. Namun saya meyakini kita tetap harus bersemangat. Dalam kondisi demikian, diam saja merupakan kekalahan, apalagi mundur. Berangkat dari sama-sama belajar, jangan takut untuk berbuat salah. Tanpa mencoba, kita tidak akan pernah tahu letak kesalahan kita di mana dan perbaikan kita seperti apa. Kalau Banten bisa, yang lain pasti bisa.
At: Tetapkan di hati bahwa apa yang kita lakukan dalam penyusunan jurnal ini adalah dalam rangka meningkatkan kompetensi dan profesionalisme GPAI. Dengan semangat demikian, insya Allah kebermanfaatan akan datang dan jalan akan terbentang.
Redaksi : Saiful Maarif