Pendidikan pada dasarnya merupakan hak setiap warga negara. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UUD 45. Kemudian turunannya yakni UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 5 ayat (2) menyebutkan bahwa warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
Isu inklusivitas kini kian berkembang seiring dengan keterbukaan informasi yang berefek pada pengakuan terhadap perbedaan, keunikan, dan karakteristik asasi yang dimiliki masing-masing personal dalam sebuah relasi sosial. Individu tidak lagi di lihat dari sisi kekurangannya melainkan dari kelebihan yang dimilikinya.
Cara berpikir positif dan empati seperti itulah yang juga harus dimiliki oleh setiap pendidik dalam memahami anak berkebutuhan khusus (ABK). Peserta didik yang tergolong ABK pada dasarnya tidak identik dengan disabilitas, tetapi di lihat dari kebutuhan seperti apa yang harus dipenuhi agar proses pembelajaran bisa berlangsung secara optimal.
Hal tersebut sebagaimana disampaikan oleh Yoga Budhi Santoso dalam kesempatan menjadi narasumber pada kegiatan Konsinyering Penyiapan Pedoman Bahan Ajar Anak Berkebutuhan Khusus di Hotel Zest, Bogor, Jawa Barat.
"ABK tidak identik dengan penyandang disabilitas. Yang kita lihat adalah ada atau tidaknya kebutuhan. Seorang anak yang berasal dari keluarga bermasalah, ia banyak melamun di kelas, yang awalnya prestasinya bagus, tapi kemudian menurun, ia bisa saja dikategorikan sebagai ABK karena membutuhkan perlakuan khusus. Jadi, ABK adalah semua anak yang membutuhkan layanan pendidikan yang bersifat khusus," terang Yoga (Jumat, 8/10/2021).
Ketua Prodi Pendidikan Luar Biasa Universitas Islam Nusantara, Bandung, Jawa Barat ini menambahkan bahwa perlu ada konsep berpikir yang benar dalam mendefinisikan ABK. Dari konsep berpikir yang benar, kita akan lebih positif dalam menyikapi ABK.
"Kebutuhan khusus yang dialami ABK bisa bersifat temporal atau permanen. Bisa karena faktor individu atau lingkungan. Kita perlu melihatnya dalam konteks filosofi berpikir sosial, bahwa setiap orang memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Dari sini kita akan mendapatkan suatu konsepsi berpikir yang lebih positif. Misalkan tunarungu, kita dapat memaknainya sebagai orang yang mengenal lingkungannya dengan cara visual ketimbang memaknainya sebagai orang yang mengalami gangguan atau hambatan pendengaran," ujar Yoga.
Yoga yang juga aktif sebagai pengurus Asosiasi Terapis Perilaku Indonesia (Atepi) menegaskan bahwa cara berpikir tentang ABK memang harus diubah terlebih dahulu sebelum mendiskusikan persoalan lain yang terkait dengannya.
"Buat apa kita membahas banyak hal, tetapi cara berpikir kita tentang ABK masih berkutat pada sisi kekurangannya. Kita harus memulai dengan melihat potensinya, bukan hambatannya. Munculnya kebutuhan khusus umumnya karena adanya gap antara kondisi seseorang dengan harapan lingkungan pada taraf usia tertentu. Atas dasar itulah kita mencari solusi agar peserta didik ABK tetap mampu beradaptasi dan bertahan hidup secara mandiri, meskipun realisasi tuntutan kurikulum pastinya akan berbeda dengan yang non-ABK," tandasnya.
Kegiatan Konsinyering Penyiapan Pedoman Bahan Ajar Anak Berkebutuhan Khusus diselenggarakan oleh Direktorat Pendidikan Agama Islam, Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama. Selaku pelaksana kegiatan adalah Subdit PAI pada SMA/SMALB dan SMK. Kegiatan itu sendiri berlangsung selama 3 hari, tanggal 7-9 Oktober 2021. Hadir sebagai peserta, 30 orang praktisi Pendidikan Luar Biasa (PLB) dari berbagai provinsi. Kegiatan dilaksanakan dengan tetap menjaga protokol kesehatan sesuai himbauan pemerintah.
Kontributor: Apri
Fotografer: Apri