Oleh:

Yuto Nasikin

Problematika Kenaikan Pangkat Guru dan Pengawas PAI Pada Sekolah Golongan IV/a ke IV/b di Kabupaten

Illustrasi Foto (Direktorat PAI Kemenag)

Oleh:

Yuto Nasikin

(Kasi PAIS KemenagKab. Cirebon)

Guru kini semakin menghadapi permasalahan yang cukup berat dalam hal mendapatkan kenaikan pangkat dan jabatan. Selain dalam proses pembelajaran yang wajib mencanangkan bentuk-bentuk pembelajaran inovatif dalam bentuk Penilaian Kinerja Guru (PKG), guru juga wajib mengikuti tugas-tugas tambahan sebagai unsur penunjang. Jika guru tidak bisa naik pangkat dan tidak bisa mengumpulkan angka kredit pada jenjang pangkatnya selama waktu yang ditentukan maka ada konsekuensi tersendiri berupa pencabutan tunjangan profesionalnya sesuai peraturan perundang-undangan.

Sistem kenaikan pangkat guru saat ini berbeda dari tahun tahun sebelumnya,dimana terhitung mulai Januari 2013 kenaikan pangkat guru harus menggunakan sistem baru yaitu Penilaian Kinerja Guru (PKG) yang dilengkapi dengan unsur-unsur dari kegiatan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB). Dasar hukum sistem kenaikan pangkat guru ini adalah Permenpan dan RB Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.

Terdapat banyak perbedaan mendasar dalam sistem kenaikan pangkat guru berdasarkan Permenpan dan RB Nomor 16 tahun 2009 ini dengan peraturan sebelumnya yang menjadi dasar sistem kenaikan pangkat guru. Bila berdasarkan Kepmenpan Nomor 83/1994, guru relatif mudah dalam proses pengumpulan angka kredit,sehingga lebih cepat dan mudah naik pangkat ke jenjang yang lebih tinggi. Berdasarkan pengamatan, seorang guru di lingkungan Kantor Kementerian Agama Kab. Cirebon dapat naik pangkat rata-rata dua tahun sekali. Artinya, dalam waktu dua tahun, guru mampu mengumpulkan angka kredit minimal yang dipersyaratkan untuk kenaikan pangkat dengan relatif mudah. Hal ini tentu tidakakan berlaku lagi ketika Permenpan yang baru ini mulai diterapkan, mengingat dalam peraturan ini sistemnya lebih rumit dan kompleks mencakup Penilaian Kinerja Guru (PKG) serta Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB).

Tugas guru dikaitkan dengan perolehan angka kredit untuk kenaikan pangkat terlihat sedemikian komlplek dan rumit, jika dibandingakan dengan peraturan yang digunakan sebelumnya. Sebagai contoh, bila dalam Kepmenpan nomor 83/1994, untuk kenaikan pangkat dalam golongan 3 belum mewajibkan perolehan angka kredit dari kegiatan publikasi ilmiah (sub unsur PKB). Sedangkan dalam Permenpan dan RB nomor 16 tahun 2009, untuk kenaikan pangkat dalam golongan III sudah mewajibakan perolehan angka kredit dari kegiatan publikasi ilmiah dari unsur Pengembangan Diri. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada table di bawah ini:

No.

Golongan

Pengembangan Diri

Publikasi Ilmiah

AK Penunjang

1

III/a – III/b

3

5

2

III/b – III/c

3

4

5

3

III/c – III/d

3

6

10

4

III/d – IV/a

4

8

10

5

IV/a – IV/b

4

12

15

Pada tabel di atas, bagi guru golongan 3 yang akan naik ke jenjang pangkat / jabatan yang lebih tinggi sudah diwajibkan mengumpulkan angka kredit dari unsur Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan. Padahal sudah menjadi kelaziman bahwa unsur tersebut merupakan aspek yang paling sulit untuk dipenuhi perolehan angka kreditnya. Sebelum Permenpan Nomor 16 Tahun 2009 ini diterapkan, banyak guru yang mentok pada golongan IV/a. Guru yang awalnyalancar kenaikan pangkatnya, bahkan dari golonagn 2 sekalipun, ketika sudahmencapai golongan IV/a ia seolah tidak mampu lagi naik ke golongan yang lebihtinggi. Hal ini karena guru yang akan naik pangkat ke golongan IV/b wajibmelaksanakan kegiatan pengembangan profesi membuat karya tulis ilmiah. Karyatulis ilmiah ini seolah menjadi momok bagi para guru yang akan naik pangkatsehingga karir guru banyak terhenti di golongan IV/b karena faktor malas engganatau bahkan ketidakmampuan membuat KTI.

Tak jauh beda dengan guru, pengawas sekolah pun termasuk di dalamnyapengawas PAI dipersyaratkan untuk mengumpulkan angka kredit dari kegiatanpengembangan profesi, hal ini juga menjadi hambatan bagi pengawas yang akannaik pangkat.

Banyak faktor yang menjadi hambatan bagi kenaikan pangkat guru danpengawas PAI. Paling tidak ada 3 hambatan yang sering dialami seorang guru/pengawasyang akan naik pangkat, yaitu sebagai berikut:

Pertama, Hambatan kultural. Hambatan Kultural berkaitan dengan Budaya Kerja. Budaya kerja guru/pengawaspada dasarnya merupakan nilai-nilai yang menjadi kebiasaan seorang guru/pengawasyang menentukan kualitas kerja. Hambatan ini dapat diartikan sebagai hambatanbudaya kerja guru yang tidak mendukung perbaikan karir guru/pengawas. Gurusudah merasa nyaman dengan kebiasaan dan pola mengajar siswa yang diterapkanselama ini.dan pengawas sudah nyaman dengan kebiasaan monitoringnya selama ini,Bahkan dari dulu sampai sekarang pola dan kebiasaan tersebut tidak diubahnyauntuk lebih meningkatkan kualitas pendidikan. Sehingga ini berpengaruh dalam menghambatkenaikan pangkat guru/pengawas bersangkutan. Beberapa hal yang menjadi hambatanguru dalam meningkatkan karir profesinya dalam hal ini proses kenaikan pangkat/ jabatan guru/pengawas, yaitu guru/pengawas lebih banyak berorientasi wicaradaripada menulis, guru lebih suka mengajar daripada menulis, dan pengawas lebihsuka monitoring/supervise, rendahnya keterlibatan guru/pengawas dalam kegiatanseminar, workshop diklat dan lainnya.

Hambatan Administratif berupa kelemahanmengarsipkan surat, sk, surat tugas atau bukti fisik lainnya, kelemahanmenyajikan bukti-bukti untuk kenaikan pangkat, kelemahan dalam pemahamanperaturan tentang jabatan guru/pengawas, ketidaktepatan waktu pengusulan berkaskenaikan pangkat.

Hambatan Pemahaman Teknologi

Kenaikan Pangkat Guru dan Pengawas semakin bertambah rumit dankompleks, semenjak diberlakukannya aplikasi e-dupak yang merupakan salah satumodul dari aplikasi simpeg5 bagi guru yang akan naik pangkat dari IV/a ke IV/b.selain karena kurang mengusai dalam bidang teknologi untuk menggunakan aplikasie-dupak, juga karena banyaknya dokumen yang harus dipindai dan diupload keaplikasi tersebut.



Terkait