Urgensi Komunikasi Interpersonal dalam Pembelajaran PAI

Illustrasi Foto (Direktorat PAI Kemenag)

Bogor (DitPAI)-- Dalam salah satu sesi acara Penguatan Pendidikan Karakter, Deradikalisasi, Moderasi Islam dan Pembinaan Rohis SMA/SMK di Bogor (24-26 Maret 2021), Ketua APDISI (Asosiasi Dosen PAI Seluruh Indonesia) Dr. Aam Abdusssalam menyampaikan bahwa  telah terjadi parsialisme dalam sistem pembelajaran  selama ini. Yang menjadi pemicu hal tersebut adalah tidak terkoneksinya kebenaran ilmiah dengan sistem keyakinan.

Keadaan ini menyebabkan suasana pendidikan menjadi mekanistis dan menjauhkan suasana kebatinan yang menjadi ruh pembelajaran. Paradigma pembelajaran seringkali melepaskan realitas dari keberadaan Allah SWT. Sementara itu, agama melihat alam dan kehidupan sebagai suatu sistem yang komprehensif dan integratif yang menempatkan Allah sebagai satu-satunya sentral. Demikian benang merah materi yang disampaikan oleh Aam.

“Pembelajaran yang tidak terkoneksi dengan sistem keyakinan akan menimbulkan problem serius,”  imbuh Aam. Padahal, “Dalam pembelajaran PAI hendaklah para guru dapat mengintegrasikan  nilai filosofis dan transenden kepada peserta didik,” pungkas  Aam.

Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa pemahaman umat bisa rusak karena pengajaran banyak menafikan hal ghaib, dengan lebih banyak mengedepankan kebenaran empiris dan rasional. Dengan menyebut  guru-guru PAI sebagai fungsionaris terdepan dari perpanjangan Rasullullah SAW, pemateri mempunyai harapan agar mereka dapat mengembangkan pola berpikir yang mengedepankan keterkaitan alam untuk mengenal Allah.

“Dasar saintifik berasal dari nabi Ibrahim yang mengamati matahari, bulan dan bintang dalam menguji keyakinannya. Hipotesis Nabi Ibrahim terhadap kebenaran empiris ini sebetulnya menjadi dasar kebenaran ilmiah, namun tujuan bukan untuk duniawi, tapi untuk menemukan Allah,” Aam menjelaskan.

Selain itu, Guru PAI hendaknya mampu menyampaikan pembelajaran dengan metode komunikasi interpersonal dengan peserta didik, karena tarbiyah dalam Islam bertumpu dari rasa kasih sayang. Ungkapan kasih sayang dapat menjadi dorongan positif bagi siswa dan guru secara psikologis. “Proses pembelajaran harus memahami kondisi psikologis anak, agar sentuhan tarbiyah dapat berjalan dengan optimal,“ terangnya.

“Kasih sayang dapat menumbuhkan rasa  percaya dan pengorbanan. Kehilangan komunikasi kasih sayang menyebabkan munculnya komunikasi yang mekanistis,” pungkasnya. (ZF/tim media DitPAI)



Terkait