Jakarta – Direktorat Pendidikan Agama Islam mengundang sejumlah guru PAI yang selama ini dikenal aktif dan produktif dalam menulis berbagai hal, terutama terkait dengan dunia pendidkan agama Islam.
Kegiatan yang dikemas dalam webinar ini menghadirkan sejumlah penulis produktif antara lain Saiful Maarif dari Subdit PAI SMP Ditpai, Bagus Mustakim dari Ngawi, Fajar Sidik dari Sidoarjo, Iis Suryatini dari Bandung, dan Fitra Yenti dari Padang. Forum pertemuan ini dimoderatori oleh Bil Bahtiar, Kasi Kurikulum Subdit PAI SMP, pada hari Kamis, 05 November 2020 yang diikuti oleh para Kasi Tingkat Dasar di Bidang PAIS/PAKIS/PENDIS Kanwil Kemenag Propinsi dan Ketua MGMP PAI SMP tingkat propinsi.
Saiful Maarif berbagi pengalaman dalam menulis artikel populer. Beberapa kali hasil karyanya dimuat di media cetak. Menurutnya, pencapaian tersebut tidak lepas dari kerja keras dan keberanian.
Menurutnya, ada beragam pola penulisan yang bisa disusun dalam sebuah artikel. Antara lain dalam bentuk kronologi, perbandingan, problem solving, atau sebuah opini.
"Ide atau gagasan yang kita tuangkan dalam sebuah artikel populer berbeda dengan karya ilmiah atau opini. Artikel lebih bebas dikembangkan sesuai dengan keinginan penulis," sambungnya.
Sebagai PNS memang kadang dilematis, antara menulis kritis atau sekedar informatif. Karena banyak media yang tidak mau menerima tulisan dengan embel-embel PNS.
"Kuncinya tidak takut salah, sekalipun kita sebagai PNS. Karena kita menulis bukan untuk mencari kesalahan. Semangat ini harus diterapkan saat kita mulai menulis. Semua orang pasti punya hobi dan bakat untuk menulis. Hanya mau dikembangkan atau tidak." tegasnya.
Sementara itu, Bagus Mustakim, menyampaikan pengalamannya tentang menulis yang sudah dia tekuni sejak jaman mahasiswa di Jogjakarta. Penulis lebih dari 20 artikel ini mengatakan, bahwa ia termotivasi menulis karena, sebagai aktivis mahasiswa, ada rasa malu kalau tidak punya karya tulis.
“Sebagai aktivis, rasanya malu dan gengsi kalau tidak punya karta tulis. Karena itu dulu kita berlomba-lomba untuk unjuk gigi nulis sebanyak mungkin di media massa. Termasuk pernah nulis untuk majalah Bakti milik Kemenag DI Jogja dan Majalah Rindang milik Kemenag Jawa Tengah,” ujarnya.
Ia juga berbagi tips agar guru memiliki karya yang diterbitkan. Menurutnya, tulisan yang baik adalah yang selesai dan diterbitkan, bukan disimpan di laci.
“Tulis saja apapun masalah yang menarik minat anda. Saat ini banyak media dan penerbit yang siap menampung tulisan anda. Tinggal pilih media atau penerbit level mana yang sesuai, media online atau media cetak, yang memiliki skala mudah, sedang atau nasional,” ujarnya menyemangati.
Agar dapat menghasilkan naskah buku, menurut Mustakim, penulis harus bisa memilih topik dan jenis buku yang disuka, menguntungkan, dan mudah diselesaikan.
“Saya beberapa kali justru dikontak oleh penerbit untuk menulis suatu tema yang sedang aktual, termasuk buku tentang Pendidikan Karakter ini. Jadi justru penerbit yang mencari kita untuk menulis. Dan pasti honornya lebih lumayan daripada kita yang cari penerbit.”
Sementara itu Iis Suryatini menyatakan bahwa menulis bisa jadi diawali karena keterpaksaan. Hal ini dia alami saat ditugaskan mengajar di salah satu SMP di wilayah pelosok Bandung yang akses ke kota jauh, termasuk akses buku bacaan.
“Saya terpaksa menyiapkan buku bahan ajar karena tersemangati oleh keadaan dimana anak-anak kesulitan mendapatkan buku pelajaran atau buku bacaan. Karena jarak ke kota yang jauh dan tidak mudah untuk mencapai ke kota,” ungkapnya mengenang awal mula senang menulis.
Dia yang saat ini terlibat dalam penyiapan buku teks dengan Pusat Kurikulum lebih memilih menulis buku-buku yang terkait dengan kurikulum dan pembelajaran daripada menulis artikel di media.
“Saya lebih tertarik menulis buku-buku yang berhubungan langsung dengan kurikulum dan pembelajaran PAI di sekolah. Karena ini berhubungan langsung dengan kebutuhan anak dalam isi dan maksud pelajaran PAI di sekolah,” kata Iis yang sudah menghasilkan belasan buku.
Menurutnya, menulis itu mudah. Hanya butuh ketekunan dan kesabaran.
“Setiap selesai ikut kegiatan workshop atau pelatihan, tulis saja apa yang disampaikan oleh para nara sumber, itu sudah bisa jadi tulisan kita sendiri’, ujarnya ringan.
Namun demikian, dia juga merasakan ada kegelisahan dalam menulis. Karena dia membayangkan pembaca karya dia yang sebagian adalah anak didiknya.
“Saat menulis kita juga sering dibayangi oleh kegelisahan karena anak didik kita ini bukan generasi kita. Karena itu bagaimana memberi bekal yang terbaik untuk anak-anak masa depan mereka”, katanya.
Sedangkan Fitra Yenti mengatakan bahwa butuh kesabaran dan ketekunan dalam menghasilkan suatu buku. Hal ini tidak bisa dibayangkan sebagai proses yang langsung jadi.
“Saya lebih senang menulis di waktu malam saat suasana sudah mulai tenang. Ide akan mengalir dengan deras karena tidak direpoti dengan berbagai aktivitas harian di siang hari,” kata Fitra yang baru saja menelorkan buku tentang literasi spiritual.
Menurutnya, keberadaan karya tulis telah meningkatkan citra guru PAI di mata masyarakat.
“Dengan buku yang telah diterbitkan, ini menunjukkan bukti bahwa guru pendidikan agama Islam itu produktif dan kreatif,” ungkat Fitra yang saat ini menjadi Pengawas PAI SMP di Kabupaten Tanah Datar.
Menurut Fajar, sebagai salah satu syarat kenaikan pangkat guru, guru harus berkontribusi dalam gagasan yang dituangkan dalam sebuah artikel. Untuk itu, dia mengimbau agar para guru mulai menumbuhkan budaya gemar menulis.
"Ini bisa dimulai dengan membuat blog. Karena di sana tidak ada pihak yang mengkritik tulisan kita. Kalau pun ada yang mengkritik, jangan cepat sakit hati. Justru kritikan itu yang membangun kita," tandas dia.
Dalam paparannya, Fajar memberikan tip dan trik membuat tulisan yang berkualitas. Ia menggunakan akronim yang menarik dan mudah diingat. Agar seseorang mampu menulis dengan baik adalah dengan mengaktifkan otak kanan dan otak kiri.
“Tulis saja apa yang anda ingin tulis dan tidak usah takut tulisan anda dibilang jelek. Nanti kalau sudah selesai, baru baca ulang tulisan tesebut sambil santai atau dengerin musik. Pasti hasilnya akan lebih baik”, katanya.
Dalam memulai menulis buku, kadang banyak hambatan yang ditemui. Salah satu yang sering ditemui adalah ketiadaan ide. Sebenarnya, ide itu bisa muncul dan berujung pada satu kata, yaitu masalah.
Menurut Fajar, itu semua bisa dialami oleh siapa saja. Maka, kalau ingin memulai menulis harus dikuatkan sinyalnya melalui banyak membaca, banyak berjalan, dan banyak bersilaturahmi.
“Untuk mendapatkan tulisan yang baik dan berisi, memang sebaiknya banyak membaca dan banyak silaturahmi. Banyak gaul”, katanya. (gus)